Tampilkan postingan dengan label Sketsa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sketsa. Tampilkan semua postingan

Pesan Tersembunyi Di Balik Sekuntum Bunga

Rabu, 16 Februari 2011 · 0 comments

Bunga kerap dijadikan sarana untuk menyatakan perasaan. Aroma dan keindahannya menjadi alasan bunga menempati posisi pertama dalam daftar hadiah yang disukai wanita. Karena itulah, banyak para suami menjadikannya alat untuk menyatakan perasaannya terhadap wanita yang disisinya (istrinya). Padahal, tidak semua bunga mewakili perasaan cinta. Ingin tahu semiotika atau pesan tersembunyi di balik bunga? Simaklah penjelasan di bawah ini.

1. Mawar Merah
Mawar merah adalah lambang cinta sejati. Jika si dia memberikan Anda satu buket atau sekuntum mawar merah berarti dia tengah dimabuk pesona Anda. Mawar merah juga menandakan bahwa pemberinya adalah seorang yang sederhana dan memiliki tingkat kreatifitas tidak neko neko.

2. Bunga Matahari
Pesona bunga matahari melambangkan kemurnian dan pemikiran yang dalam. Pemberinya ingin menyampaikan bahwa ia tak akan dengan mudah melepaskan Anda dari hidupnya.

3. Aster
Bunga yang lebih dikenal dengan sebutan daisies ini melambangkan kasih setia dan kepercayaan. Pemberinya ingin mencoba mengatakan bahwa ia menjaga kesetiaannya pada Anda.

4. Tulip Kuning
Bunga asal Negeri Kincir Angin ini melambangkan harapan cinta. Jika si dia memberikan bunga yang satu ini, artinya ia sangat mengharapkan kesediaan Anda untuk menjadi pasangan hidupnya selamanya.

5. Anggrek
Bunga anggrek melambangkan kecantikan yang sempurna. Pemberinya berusaha untuk mengatakan bahwa ia mencoba untuk menjadi orang yang Anda cintai.

6. Mawar Kuning
Mawar kuning menyimpan banyak pesan, seperti suka cita, persahabatan, permintaan maaf, kecemburuan, perselingkuhan, dan patah hati. Umumnya, mawar kuning menjadi alat untuk meminta maaf atas perbuatannya. Namun banyak juga memberikan mawar kuning karena bingung dengan apa yang dirasa terhadap Anda.

Baca Selengkapnya >>>

Cinta dari Darah dan Ruh

Minggu, 13 Februari 2011 · 0 comments

Lelaki itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.

Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar bin Khatab: “Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?” lalu Umar pun menjawab: “tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu”.

Tidak! Tidak! Tidak!
Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: disana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati sang ibu. Ia lalu keluar diantara darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.

Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata didasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya.

Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubyngan darah. Tapi diatas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus di pertanggungjawabkan di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya dimuka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhiat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat disurga berkat doa-doa sang anak.

Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga berserikat bersamanya. Sebab anak itu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil dihalaman depan buku monemetalnya “Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam”. Buku ini, kata Sabai, kupersembahkan pada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya? “Ya Allah, jadikanlah anakku ini sebagai sumber kebaikanku di akhirat kelak”.

Doa sang ibu dan ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu ia selamnya terkabul! ~ Anis Matta ~

Baca Selengkapnya >>>

Memberi Atas Nama Cinta

Sabtu, 12 Februari 2011 · 0 comments

Kita belajar makna cinta dari seorang ibu yang menyusui anaknya dalam gendongan. Kedua belah tangannya sibuk menisik selimut sang bayi. Dalam dadanya tiada sesuatu selain ketulusan memberi atas nama cinta.

Kita belajar makna cinta dari seorang ayah yang membawa pulang sejumput padi dan setuang air setelah seharian berterik-terik di ladang. Dalam dadanya, tiada sesuatu selain kegembiraan memberi atas nama cinta.
Karena cinta bukan hanya sekadar pelukan hangat, belaian lembut, atau kata-kata penuh dayu. Bahkan cinta bukan hanya yang kita rasakan saat jatuh cinta. 


Kita belajar apa itu cinta dari apa pun yang ada di muka bumi. Dari cahaya matahari. Dari sepasang merpati. Dari sorot mata anak-anak yang menanti pemberian. Dari sujud dan tengadah doa. Dari apa pun!

Pada semua kelahiran yang tersambut dengan cinta, hingga kematian yang terlarung dalam cinta, kita hanya belajar satu hal: cinta. Kehadiran kita dalam hidup ini, tiada lain selain mewujudkan cinta. Karena itu, tiada yang pantas kita lakukan selain atas nama cinta kita yang teragung: cinta buat Yang Maha Agung, Allah swt. Apa pun keputusan-Nya buat kita, cintalah yang mesti bicara.

Baca Selengkapnya >>>

Mencintai Itu Keputusan

Minggu, 06 Februari 2011 · 1 comments

Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia. Baru saja mekar. Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar kemudian iapun berkata, “Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang akan kamu temui di sini.” Itulah kalimat pertama Utsaman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya di Syam, Naila. Selanjutnya adalah bukti.

Sebab cinta adalah kata lain dari memberi... sebab memberi adalah pekerjaan... sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat... sebab pekerjaan itu harus ditunaikan dalam waktu lama... sebab pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh... maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia akan mengatakan, “Aku mencintaimu.” Kepada siapapun!

Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian di situ. “Aku mencintaimu,” adalah ungkapan lain dari, “Aku ingin memberimu sesuatu.” Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia... aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin... aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku, proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang kulakukan padamu... aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu...” Taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita. Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu,” kamu harus membuktikan ucapan itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.

Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap. Tidak ada cinta tanpa kepercayaan. Begitulah bersama waktu suami atau istri kehilangan kepercayaan kepada pasangannya. Atau anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Atau sahabat kehilangan kepercayaan kepada kawannya. Atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Semua dalam satu situasi: cinta yang tidak terbukti. Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak dipercaya rakyatnya.

Jalan hidup kita biasanya tidak linier. Tidak juga seterusnya pendakian. Atau penurunan. Karena itu konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional. Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Disitu konsistensi diuji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tegah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam situasi yang longgar.

Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya merasakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat lagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati. Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu. ~ Anis Matta ~

Baca Selengkapnya >>>

Mengapa Wanita Mudah Menangis?

Sabtu, 05 Februari 2011 · 0 comments

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya pada ibunya. "Ibu, mengapa Ibu menangis?". Ibunya menjawab, "Sebab aku wanita". "Aku tak mengerti" kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti...."

Kemudian anak itu bertanya pada ayahnya. "Ayah, mengapa Ibu menangis?, Ibu menangis tanpa sebab yang jelas". sang ayah menjawab, "Semua wanita memang sering menangis tanpa alasan". Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.


Sampai kemudian si anak itu tumbuh menjadi remaja, ia tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis. Hingga pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan, "Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali menangis?"


Dalam mimpinya ia merasa seolah Tuhan menjawab, "Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.


Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau kerap berulangkali ia menerima cerca dari anaknya itu. Kuberikan keperkasaan yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat semua orang sudah putus asa.


Kepada wanita, Kuberikan kesabaran untuk merawat keluarganya walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.


Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anaknya dalam kondisi dan situasi apapun. Walau acapkali anak-anaknya itu melukai perasaan dan hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang mengantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.


Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya melalui masa-masa sulit dan menjadi pelindung baginya. Sebab bukannya tulang rusuk yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak.


Kuberikan kepadanya kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau seringkali pula kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami agar tetap berdiri sejajar, saling melengkapi dan saling menyayangi.


Dan akhirnya Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapan pun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya air mata ini adalah air mata kehidupan". (Zuriati Ibrahim from milist ingatan)

Baca Selengkapnya >>>

Kuku, Gigi, dan Cinta Seorang Perempuan

· 0 comments

“Cinta laki-laki seumpama gunung. Ia besar tapi konstan dan (sayangnya) rentan, sewaktu-waktu ia bisa saja meletus memuntahkan lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Cinta perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh perlahan-lahan, diam-diam dan terus menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh dan tumbuh lagi.”

Perumpamaan di atas terilhami melalui sebuah dialog dalam adegan film “Bulan Tertusuk Ilalang” karya Garin Nugroho. Betapa menakjubkan. Dan kalimat itu mengingatkan saya pada kenangan tentang sahabat saya dan mamanya ketika masa-masa SMP-SMU dulu.


Kala itu, nyaris setiap hari saya main ke rumahnya yang jauh di selatan kota. Saya tahu dia anak orang kaya. Papanya, pimpinan sebuah instansi pemerintah terkemuka di kota saya dan mamanya adalah ibu rumah tangga biasa. Saya tak heran mendapati barang-barang bagus dan bermerk di rumahnya yang masih dalam tahap renovasi. Sofa yang empuk, televisi yang besar. Saya hanya bisa berdecak kagum sekaligus iri.


Tapi, lama-lama saya menyadari bahwa isi rumah itu makin kosong dari hari ke hari. Perabotan yang satu per satu lenyap dan televisi yang ‘mengkerut’ dari 29 inchi ke 14 inchi. Perubahan paling mencolok adalah wajah mama sahabat saya. Suatu saat ketika ia berbicara, tak sengaja saya dapati suatu kenyataan bahwa mama sahabat saya itu kini ompong! Kira-kira 2-3 gigi depannya hilang entah kemana.
Saya tak berani –lebih tepatnya tak tega – untuk bertanya. Saya juga tak mau tergesa-gesa mengambil kesimpulan sendiri. Yang jelas, sebuah suara, jauh di lubuk hati saya bergema : “Sesuatu yang buruk telah terjadi di rumah itu!”


Benarlah, tanpa diminta akhirnya sahabat saya datang berkunjung ke rumah saya. Setengah berbisik, ia bercerita bahwa papanya selingkuh dengan perempuan lain dan karenanya, nyaris tak pernah pulang ke rumah. Dan ini bukan main-main, perempuan itu hamil dan menuntut pertanggung jawaban papanya.


Dengan emosi ia bercerita bahwa papanya mengajaknya ke rumah perempuan itu dan meminta sahabat saya untuk memanggilnya dengan sebutan “Mama”. Sebuah permintaan menyakitkan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh sahabat saya. “Mamaku cuma satu” tangkisnya tegar saat itu. Dan misteri tentang gigi mamanya yang tiba-tiba ompong, barang-barang mewah dan perabot yang satu per satu menghilang dari rumahnya pun terkuak sudah. Semuanya adalah akibat ulah papanya jua.


Dan setengah frustasi ia mengadu pada saya bahwa ia harus menanggung semua beban berat itu sendirian karena kakak satu-satunya yang kuliah di luar kota tak peduli dan tak mau memikirkan masalah itu. Mamanya pun –yang lemah lembut— tak bisa berbuat banyak dengan kelakuan suaminya. Ia cuma bisa pasrah, gigi yang ompong itu buktinya. Dan saya? Hanya doa dan motivasi yang bisa saya berikan agar sahabat saya itu tabah dan tak putus berdoa.


Toh sekarang, setelah lama peristiwa itu berlalu, doa sahabat saya pun dijawab oleh Tuhan. Ketika itu menjelang kelulusan SMU, ia bercerita pada saya bahwa papanya sudah ‘sembuh’, bertobat, dan kembali ke pangkuan istri dan anak-anaknya. Nasib the other women itu entah bagaimana. Sampai di sini persoalan beres. Dan saya takjub mendengarnya, senang sekaligus heran.


Bagaimana mungkin masalah pelik ini bisa selesai semudah itu? Nurani keadilan saya berontak. Saya tak habis pikir, betapa mudahnya mama sahabat saya itu memaafkan dan menerima kembali suaminya setelah semua yang dilakukannya. Lelaki itu tak cuma berkhianat, tapi juga menyakiti fisiknya, merontokkan gigi-gigi depannya, tak menafkahi anak-anaknya dan nyaris mengosongkan isi rumahnya. Dan ia memaafkannya begitu saja. Sebuah kenyataan yang ternyata banyak juga saya temui di masyarakat kita. Perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga yang bisa diselesaikan dengan mudah, hanya dengan kata maaf. Mungkin inilah yang disebut orang sebagai “CINTA”!


Papa sahabat saya adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung, dan ketika ia meletus, laharnya meluap kemana-mana, menghanguskan apa saja, melukai fisik dan terutama hati dan jiwa istri dan anak-anaknya.
Mama sahabat saya adalah perempuan dengan cinta sebesar kuku. Memang cuma seujung jari, tapi cinta itu terus tumbuh, tak peduli jika kuku itu dipotong, bahkan jika jari itu cantengan dan sang kuku terpaksa harus dicabut, meski sakitnya tak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan tumbuh lagi.


Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang saya yakin tak cuma dimiliki oleh mama sahabat saya itu. Cinta yang terwujud dalam sebuah tindakan agung : “Memaafkan”. Sebuah tindakan yang butuh kekuatan besar, butuh energi banyak, yang anehnya banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya) lemah bernama perempuan.

Baca Selengkapnya >>>

Mencintai Sejantan 'Ali

Senin, 31 Januari 2011 · 0 comments

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,

dalam suatu riwayat dikisahkan

bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)

Baca Selengkapnya >>>

Catatan 11.01.11

Selasa, 25 Januari 2011 · 0 comments

oleh Dyah Eka Puspitasari pada 25 Januari 2011 jam 18:42
Hari itu, selasa 11 januari 2011. Baru 3 hari kami datang kembali di kota Brisbane, setelah 4 minggu berlibur menghirup udara segar tanah air. Isi koper belum saya keluarkan. Bahkan oleh-oleh untuk teman juga masih rapi di kemasan.

Pagi itu, sepulang kerja malam, seperti biasa mengecek inbox, email masuk, dan facebook. Masih sempat membaca dan membalas beberapa email, salah satunya permintaan biodata dari Forum lingkar Pena (FLP) Australia. Tiba-tiba heran dengan berbagai berita mengenai peringatan datangnya banjir di Brisbane yang melingkupi areal rumah kami. Padahal, baru saja dikejutkan dengan datangnya air bah yang sangat tiba-tiba di kota Toowoomba, yang hanya berjarak sekitar 90 km dari Brisbane.

Sedikit tidak percaya bahwa kota dengan sungai selebar itu, dan kontur naik turun seperti ini bisa mengalami bencana banjir sedasyat ini. Tapi aura berita pagi itu sungguh menegangkan. Tetangga yang dipulangkan segera oleh pihak kantornya, telepon dari teman yang sempat mengulangi datangnya mara bahaya, hingga kepanikan masal di supermarket yang makin membuat kami tak berfikir panjang untuk segera meninggalkan rumah.

Sedikit under estimate, mengira banjir hanya akan datang sekejab dan tidak dalam, hanya seperti mimpi buruk di tengah malam yang esok paginya sudah kembali berlangsung normal.

Kami sekeluarga pergi, hanya membawa baju masing2 satu pasang, hanya memakai sandal jepit, karena toh memakai sepatu hanya akan menambah repot suasana, dan.. oya, hanya laptop yang kami bawa. Bahkan paspor kamipun kami tinggal, walau sempat kami masukkan kantong plastik yang kemudian diikat di almari (bodoh ya?!).

Waktu saya mengepak CD movie dan game wii kesukaan anak2 dan hanya saya letakkan di atas almari, anak saya sempat bertanya, “Mom, are my stuff will getting a flooded?”. Saya jawab, “No, they are will be save”. Dia sempat bertanya lagi, “Are we going for a year?”. Saya jawab, “No, we are just going until night, and tomorrow we will back again”. Ah.. tak taunya, itu firasat khas anak-anak, bahkan setelah 3 minggu berlalu, kami belum tau bisa kembali ke rumah itu atau tidak. :(

Hari pertama lewat, hanya bisa meninjau dari berita di televisi, bahwa daerah rumah kami, Chelmer, totally flooded. Hari kedua, masih belum bisa mendekati rumah. Dan kami masih tetap mengira air hanya akan masuk rumah sebatas lutut. Hari ketiga, suami saya nekat menyusuri pematang oval depan rumah kami, dan terkaget-kaget bahwa saat ketinggian air sudah turun 1 meterpun rumah kami masih terendam 2.5 meter. Bisa dibayangkan kemarin rumah kami sudah seperti aquarium lumpur yang penuh barang.

Ah.. saya jadi teringat portfolio anak-anak, jadi teringat buku raport hasil belajar mereka dari tahun sebelumnya, jadi teringat computer dengan foto-foto yang belum sempat kami pindah, ingat keripik tempe yang baru saya bawa yang pasti sudah renyek, jadi ingat sambal pecel blitar yang belum saya makan sama sekali, ingat jilbab2 baru saya yang masih ada di plastiknya, ingat buku2 sastra yang berat-berat saya bawa dari Indonesia, ingat game wii anak2 yang bahkan belum dibuka dari kotaknya, ah... jadi teringat semuanya... :(.

Merasa kehilangan, jelas. Bukan pada seberapa besar materinya, tapi lebih pada seberapa banyak kenangan bersamanya, dan seberapa keras usaha mendapatkannya.

Tapi syukurlah, disini saya tidak sendiri.
Ada seribu tangan terulur,
ada sejuta kasih mengalun,
dan ada sekeping cinta di setiap genggamannya.
Terimakasih Tuhan.. Kau hadirkan cinta di antara deraian air hujan.
Tak ada lagi sedih, karena setiap kesedihan berbayang dengan kebahagiaan.
Tak ada lagi tangis, karena setiap derai tangis, berbias dengan senyum manis.
Tak ada lagi resah, karena setiap keresahan berakhir dengan kelegaan.
Bukankah sedih dan senang itu seperti dua sisi mata uang?
Hadapkanlah yang satu, maka sisi lainnya akan tetap tertinggal di genggaman.
Dan.. saat hati berpasrah, hanya satu yang saya tau, bahwa inilah jalanku.

*Diantara rasa syukur atas tangan2 penuh cinta yang terulur
Dyah (seorang teman di Australia yang rumahnya porak-poranda diterjang bajir)

Baca Selengkapnya >>>

Saat Menemui Jalan Buntu ....

Senin, 03 Januari 2011 · 2 comments

Saat menemukan jalan buntu ketika seluruh keyakinan kita telah terpusat pada kesuksesan, niscaya akan mengalir bantuan dari tempat-tempat yang kita tak pernah sangka. Akan muncul orang-orang yang entah mengapa melakukan hal-hal kebetulan yang akan membawa kita - secara langsung maupun tak langsung - mendekati impian kita.

Baca Selengkapnya >>>

Gaya Gravitasi Tak Punya Sifat Diskriminatif

· 0 comments

Alam semesta adalah sesuatu yang impersonal. Dia tidak peduli seberapa kayanya Anda, seberapa pintar, spesial, atau seberapa cantikserta tampannya Anda. Kalau Anda terjun dari puncak gedung, maka tubuh Anda akan terhempas menghunjam tanah. Gaya gravitasi berlaku untuk semua orang. Gaya gravitasi tidak punya sifat diskriminatif.

Ketika kecil, saat tangan Anda basah dan tidak sengaja menyentuh kontak listrik, Anda pasti tersetrum. Hukum kelistrikan tetap ada, walaupun Anda tidak lagi bermain-main lagi dengan kontak listrik sekarang. Sekali lagi, alam semesta ini bersifat impersonal.

Kalau Anda mengira cukup berbakat, coba tebak apa kata alam semesta? Dia tidak peduli. Alam semesta tidak akan memberi Anda imbalan atas bakat tersebut. Dunia ini penuh dengan orang-orang berbakat yang tidak bisa apa-apa. Yang penting adalah motivasi, keteguhan hati, dan keuletan. Kalau Anda termotivasi, satu minggu terasa seperti delapan hari. Ada bara api di dalam dada dan Anda tidak bisa tidur ketika hati Anda sangat bersemangat. Dan melakukan sesuatu yang semua orang kira tidak bisa dilakukan adalah tanda keuletan.

Baca Selengkapnya >>>

Jangan Katakan 'Tidak' !

Sabtu, 01 Januari 2011 · 0 comments

Jangan pernah mengatakan tidak bisa sebelum mencoba. Lebih baik katakan ya, saya bisa lalu kita cari caranya: persis seperti saat Bill Gates menerima tawaran IBM untuk merancang sebuah software yang ia tidak punya dan belum buat.

Bill muda mengatakan ya atas tawaran itu, lalu mencari orang yang mampu mengerjakannya dan menjual output hasil pemikiran orang lain itu ke IBM lagi. Dan itu adalah awal kesuksesan Microsoft, perusahaan software paling kaya di dunia.

Baca Selengkapnya >>>

Eureka !

Kamis, 30 Desember 2010 · 0 comments

Ambillah jeda, istirahat sejenak dari rutinitas yang kadang menjemukan. Archimedes menemukan hukum tentang massa jenis di sebuah bak mandi, bukan di ruang kuliah atau laboratorium. Ia lari telanjang sambil berteriak, "Eureka!" Orang-orang yang melihatnya menganggap dia gila, tapi saat ini sekolah-sekolah 'untuk orang waras' di seluruh dunia dengan sadar menggunakan rumus penemuannya.

Mari mengambil jarak dari persoalan rutin sehari-hari, kita bisa mencerna substansi dari hiruk-pikuk kegiatan yang kita lakukan tanpa henti. Makan, minum, tidur, berangkat ke kantor, ngejar bis kota, terjebak macet di jalan, dan seterusnya. Dengan menarik nafas panjang dan merenungkannya, kita bisa membedakan antara pekerjaan yang penting dan pekerjaan yang mendesak. Yang substansi dan aksesoris. Dengan jeda dan istirahat, otak kita akan terasah lagi kemampuannya dan tidak cepat aus karena terforsir setiap saat. Kemampuan membedakan dua hal tersebut akan sangat berpengaruh pada pilihan tindakan-tindakan kita selanjutnya.

Isaac Newton mendapatkan teori gravitasinya bukan saat tenggelam dalam buku-buku telablnya, tapi 'hanya' setelah secara tidak sengaja melihat jatuhnya buah apel. Menjelang tahun baru 2011, yuk istirahat sejenak di akhir tahun. Siapa tahu malah ide dan hal besar tiba-tiba muncul saat kita bercengkerama dengan keluarga dan kitapun berteriak, Eureka!.

Baca Selengkapnya >>>

Mari Menabrak Pagar

Rabu, 29 Desember 2010 · 0 comments

Apa yang mesti kita lakukan untuk membongkar mentalitas kita yang jumud,stagnan, dan ditumbuhi lumut? Yang pasti adalah, kesuksesan yang dinikmati teman-teman kreatif kita dari belahan bumi bukan karena bakat dan keturunan. Pandangan hidup penuh percaya diri adalah keahlian yang bisa diasah dan dilatih. Dengan keberanian, ketekunan, dan konsistensi.

Tidak ada kesuksesan instan. Padi tidak akan menguning sebelum waktunya dan ayam tidak mungkin bertelur sebelum cukup umurnya. Pandangan pikiran juga masuk dalam hukum alam seperti itu: waktu memegang peranan sangat penting. Setiap detik dan menitnya.

Keberuntungan akan lebih sering datang pada orang yang terlatih dan telah menyiapkan dirinya. Tidak setiap orang pernah melihat bintang jatuh. Tapi saya yakin jika ada yang bersedia menunggunya dengan teratur, bersedia mempelajari pola bintang jatuh dan mempunyai sebuah teleskop: dia akan menyaksikan lebih banyak bintang jatuh. Jika melihat bintang jatuh dianggap perlambang sebuah keberuntungan, maka melihatnya berkali-kali akan menjadikannya mukjizat.

Mulailah dengan menabrak kebiasaan-kebiasaan lama yang telah dianggap kebenaran dengan sadar dan terencana. Siapkan pemberontakan kecil-kecilan. Dan pertahankan orisinalitas keyakinan itu. Dengan konsisten. Karena pasti akan banyak orang yang dengan senang hati mengatakan betapa bodohnya kita dengan pilihan tindakan itu. Akan banyak orang memprediksikan kita akan gagal, meskipun mereka sendiri belum pernah mencoba sedikitpun. Resikonya memang tidak ringan, karena imbalannya juga tidak kecil.

Baca Selengkapnya >>>

The Power of Visual Branding

· 0 comments

Tahu Limbad? Mengapa ia lebih dikenal dari Joy Sandy? Pernah mendengar tentang Wang Computer? Rokok Cap Gentong? Next Computer? Word Star? Belum?
Kalau Nokia? Apple Computer? Bill Gates? Leonardo di Caprio? Nike? Windows? A Mild? Linux? Iphone? Sony Ericson? Mercedes? BMW? Garuda? Pernah mendengar? Atau malah sering mendengar? Terutama TIM Garuda Indonesia yang baru saja menyuntikkan kembali semangat nasionalisme kita?

Strategi pengelolaan brand merekalah yang akhirnya membuat sebuah brand bisa dikenal oleh audiensnya, bahkan oleh masyarakat umum jauh di ujung dunia. Proses brand building membutuhkan waktu yang cukup lama dan harus dikerjakan dengan sistematis dan kontinyu.

Masih ingat siapa pemenang AFI 1? Atau pemenang reality show Penghuni Terakhir 1?

Upaya melakukan brand building dengan cara instan hanya akan menghasilkan output yang instan pula. Proses brand building sewajarnya mengikuti hokum alam sehingga tidak dipaksakan. Inilah yang menjelaskan kenapa Limbad lebih popular dan terkenal daripada pemenang pertama The Master. Bahkan seakan menjadi idiom, Limbad the Master lebih familier dan enak kedengaran di telinga daripada Joe Sandy the Master. Brand juga harus di-maintenance supaya terawat dan tetap segar dikenal oleh masyarakat luas.

Baca Selengkapnya >>>

Yuk 'Mencuri' Ide

Minggu, 26 Desember 2010 · 0 comments

Apa yang muncul dalam pikiran kita ketika melihat sebuah karya orang lain yang unik dan kreatif? Beberapa pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana seseorang dapat menemukan ide yang cemerlang? Bagaimana cara menuangkannya dalam bentuk nyata? Dari pertanyaan ini terlihat betapa pentingnya ide dalam sebuah karya. Pemikiran akan sebuah konsep yang tidak berhubungan sama sekalipun dapat menjadi sebuah ide yang kreatif. Salah satu cara untuk mendapatkan ide yang cemerlang adalah dengan 'mencuri' ide!!!

Bukan ingin memberi tips atau trik yang jitu, tapi 'mencuri' ide telah dilakukan oleh orang-orang besar hingga sekarang. Big artists copy, great artists steal. Begitulah Interface Apple yang terkenal itu adalah curian dari Research Center-nya Xerox. Sementara Windows adalah curian dari Apple. Tidak ditiru mentah-mentah tentunya, karena Steve Jobs dan Bill Gates menggunakan konspe ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Dan di hardware seperti laptop, handphone, dan gadget-pun curi-mencurui ide dan konsep kian marak agar 'dagangan' mereka laku di pasaran.

Lalu mengapa kita tidak 'mencuri' ide mereka sekarang....
Yuk 'mencuri' ide - Picasso repeated by Steve Jobs repeated by Bill Gates

Baca Selengkapnya >>>

Segalanya Mungkin

Sabtu, 25 Desember 2010 · 0 comments

Besok, tim sepakbola Indonesia akan bertarung habis-habisan merebut posisi puncak di piala AFF. Kemangan tim Indonesia sangat bergengsi karena ini adalah supremasi tertinggi laga sepak bola tertinggi di tingkat Asia Tenggara. Semula, tidak banyak orang mengira prestasi Tim Indonesia bakal melejit seperti ini, mengingat di berbagai laga Tim kita sering kalah saat bermain dengan negara tetangga. Boleh dikata, dulu kita pesimis kalau tidak malah kehabisan harapan terhadap majunya tim nasional kita.

Dulu Barbara Meister-Vitale juga pernah dianggap sebagai anak yang terbelakang. Dia tak dapat membaca pada usia 12 tahun dan disebut sebagai “penderita disleksia yang tak punya harapan.”

Akan tetapi, neneknya tak pernah menyerah, dia mendorong Barbara menggunakan bakatnya untuk menggambar, menciptakan gambaran dalam pikiran, dan bermain musik. Secara bertahap Barbara belajar menggunakan bakat-bakat visual dan ritmisnya itu untuk memahami pelajaran sekolahnya. Hal ini mengurangi ketergantungannya akan tulisan.Kini, dia adalah anggota MENSA dan mempunyai dua gelar sarjana, serta Master dalam bidang pembelajaran dini.

Dan tahukan kita bahwa :

  • Walt Disney dulu dipecat oleh seorang editor surat kabar karena dianggap tidak punya “ide-ide kreatif yang bagus.”
  • Einstein baru bisa bicara pada usia empat tahun dan baru bisa membaca pada usia tujuh tahun.
  • Beethoven dianggap “tak ada harapan sebagai composer” oleh guru musiknya.
  • Paul Gauguin baru mencoba melukis setelah gagal sebagai pialang saham.

Maka, bukanlah suatu kemustahilan apabila Timnas Indonesia berhasil menundukkan Malaysia di Bukit Jalil nanti. Bahkan bisa jadi semua ini hanyalah awal untuk menuju tiket Piala Dunia, setelah berpuluh tahun kita hanya berani memimpikannya. Semua dapat terjadi, tidak ada yang mustahil, dan saya setuju dengan Marilyn Ferguson ketika ia berkata, “Masa lalu Anda bukanlah potensi Anda.” Orang-orang atau Tim yang hebat dan berprestasi tinggi itu diciptakan, bukan dilahirkan.

Semoga Indonesia menang…!!!


Baca Selengkapnya >>>

Memisahkan kesalahan dari pelakunya

Kamis, 23 Desember 2010 · 0 comments

Siapa yang tidak pernah berbuat salah ? Jawabannya tentu tidak ada. Saat seseorang melakukan kesalahan acapkali itu dicerminkan sebagai kepribadiannya dan kita sering menghukum orang dengan praduga seperti itu.
Saat seorang ayah melihat kasur anaknya berantakan tidaklah patut jika ia langsung marah dengan berkata, “Dasar anak nakal, kelakuanmu apa saja hingga kamar berantakan seperti kapal mau pecah ?!”. Pastilah sang anak akan takut, sedih, dan walaupun merapikan tempat tidur itu namun penuh dengan keterpaksaan.
Pisahkanlah antara kesalahan kamar berantakan dengan pelakunya, yakni si anak, beritahu ia masalah yang dilakukannya agar ia tahu telah berbuat salah dan bukan malah langsung menghukumnya. Memisahkan kesalahan dari pelakunya dapat menjadikan kita berpikir jernih dan matang dalam melihat fenomena yang terjadi. Alangkah baiknya bila kita katakan saja, “Anakku, ayah sangat sayang padamu, dan kamar tidak rapi seperti ini bukanlah yang ayah harapkan darimu.”

Baca Selengkapnya >>>

Cari Apa Saja Disini


ShoutMix chat widget

Multi Posting Area

Web Stats

website-hit-counters.com
Powered by  MyPagerank.Net
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
 

IcyBlue | Copyright © 2010 - Blogger Designed By Jasa Adsense Powered By How To Traffic Website Supported by Increase Traffic For Website

javascript:void(0)