Tiga Bulan Tidak Mampu Memandang Wajah Suami

Senin, 28 Februari 2011 · 0 comments

Perkawinan itu telah berjalan empat tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: "kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?". Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, lalu menyambungnya
dengan ucapan: Alhamdulillah.

Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.Sang suami berkata kepada sang dokter: "Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran.

Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: "… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.

Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: "Wahai fulan, saya telah bersabar selama Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:" betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan".

Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: "istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …". 

Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah dihadapannya.Akhirnya sang istri berkata: "OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih".Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal.Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: "Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …".Sang istri pun bed rest di rumah sakit.

Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: "Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja"."Haah, pergi?". Kata sang istri."Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat". Kata sang suami.Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri.

Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: "Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi".Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.

Dan subhanallah …Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri
melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari'ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur'an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari `Ashim.Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan.

Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya. Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.

Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.

Oleh : Miranti Mayangsari

Baca Selengkapnya >>>

Nasehat Ustad Rahmat Abdullah

Senin, 21 Februari 2011 · 0 comments

Seorang ibu pernah curhat kepada Alm. Ustad Rahmat Abdullah. Ibu ini adalah istri yang dipoligami. Sang suami selalu menjelek-jelekkan si ibu, seolah-olah alasan suami berpoligami karena kesalahan ibu ini. Setelah cerita panjang lebar dengan segala argumentasinya, Alm. Ustad Rahmat Abdullah berkata dengan pelan ” Kalau ibu mau membawa ini pada proses hukum, akan saya bantu carikan pengacara. Kalau ibu mau menyelesaikan ini ke dewan syariah, akan saya antarkan ke dewan syariah. Kalau ibu ingin saya memarahi suami ibu, silahkan panggil suami, nanti saya marahi disini. Tapi apakah itu semua menyelesaikan masalah? Kalaupun ibu menganggap masalah ini sudah begitu sulit diselesaikan dan membuat ibu jadi susah. Kenapa ibu kehilangan kepercayaan bahwa ada kebaikan besar yang lain yang Allah berikan kepada ibu, jika ibu menerima ini dengan ikhlas? Kalau ibu lebih mengharap surga, ketimbang hukuman yang ingin ibu berikan kepada suami yang dianggap bermasalah. Terimalah ini sebagai kehendak Allah, lapangkan dada, tutup telinga dari semua ucapan orang yang buruk, maka semoga Allah berikan surga kepada ibu..”

(Bercermin di Telaga Cinta Sang Guru, Mengenang KH. Rahmat Abdullah)

Baca Selengkapnya >>>

Pesan Tersembunyi Di Balik Sekuntum Bunga

Rabu, 16 Februari 2011 · 0 comments

Bunga kerap dijadikan sarana untuk menyatakan perasaan. Aroma dan keindahannya menjadi alasan bunga menempati posisi pertama dalam daftar hadiah yang disukai wanita. Karena itulah, banyak para suami menjadikannya alat untuk menyatakan perasaannya terhadap wanita yang disisinya (istrinya). Padahal, tidak semua bunga mewakili perasaan cinta. Ingin tahu semiotika atau pesan tersembunyi di balik bunga? Simaklah penjelasan di bawah ini.

1. Mawar Merah
Mawar merah adalah lambang cinta sejati. Jika si dia memberikan Anda satu buket atau sekuntum mawar merah berarti dia tengah dimabuk pesona Anda. Mawar merah juga menandakan bahwa pemberinya adalah seorang yang sederhana dan memiliki tingkat kreatifitas tidak neko neko.

2. Bunga Matahari
Pesona bunga matahari melambangkan kemurnian dan pemikiran yang dalam. Pemberinya ingin menyampaikan bahwa ia tak akan dengan mudah melepaskan Anda dari hidupnya.

3. Aster
Bunga yang lebih dikenal dengan sebutan daisies ini melambangkan kasih setia dan kepercayaan. Pemberinya ingin mencoba mengatakan bahwa ia menjaga kesetiaannya pada Anda.

4. Tulip Kuning
Bunga asal Negeri Kincir Angin ini melambangkan harapan cinta. Jika si dia memberikan bunga yang satu ini, artinya ia sangat mengharapkan kesediaan Anda untuk menjadi pasangan hidupnya selamanya.

5. Anggrek
Bunga anggrek melambangkan kecantikan yang sempurna. Pemberinya berusaha untuk mengatakan bahwa ia mencoba untuk menjadi orang yang Anda cintai.

6. Mawar Kuning
Mawar kuning menyimpan banyak pesan, seperti suka cita, persahabatan, permintaan maaf, kecemburuan, perselingkuhan, dan patah hati. Umumnya, mawar kuning menjadi alat untuk meminta maaf atas perbuatannya. Namun banyak juga memberikan mawar kuning karena bingung dengan apa yang dirasa terhadap Anda.

Baca Selengkapnya >>>

Cinta dari Darah dan Ruh

Minggu, 13 Februari 2011 · 0 comments

Lelaki itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.

Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar bin Khatab: “Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?” lalu Umar pun menjawab: “tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu”.

Tidak! Tidak! Tidak!
Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: disana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati sang ibu. Ia lalu keluar diantara darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.

Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata didasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya.

Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubyngan darah. Tapi diatas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus di pertanggungjawabkan di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya dimuka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhiat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat disurga berkat doa-doa sang anak.

Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga berserikat bersamanya. Sebab anak itu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil dihalaman depan buku monemetalnya “Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam”. Buku ini, kata Sabai, kupersembahkan pada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya? “Ya Allah, jadikanlah anakku ini sebagai sumber kebaikanku di akhirat kelak”.

Doa sang ibu dan ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu ia selamnya terkabul! ~ Anis Matta ~

Baca Selengkapnya >>>

Memberi Atas Nama Cinta

Sabtu, 12 Februari 2011 · 0 comments

Kita belajar makna cinta dari seorang ibu yang menyusui anaknya dalam gendongan. Kedua belah tangannya sibuk menisik selimut sang bayi. Dalam dadanya tiada sesuatu selain ketulusan memberi atas nama cinta.

Kita belajar makna cinta dari seorang ayah yang membawa pulang sejumput padi dan setuang air setelah seharian berterik-terik di ladang. Dalam dadanya, tiada sesuatu selain kegembiraan memberi atas nama cinta.
Karena cinta bukan hanya sekadar pelukan hangat, belaian lembut, atau kata-kata penuh dayu. Bahkan cinta bukan hanya yang kita rasakan saat jatuh cinta. 


Kita belajar apa itu cinta dari apa pun yang ada di muka bumi. Dari cahaya matahari. Dari sepasang merpati. Dari sorot mata anak-anak yang menanti pemberian. Dari sujud dan tengadah doa. Dari apa pun!

Pada semua kelahiran yang tersambut dengan cinta, hingga kematian yang terlarung dalam cinta, kita hanya belajar satu hal: cinta. Kehadiran kita dalam hidup ini, tiada lain selain mewujudkan cinta. Karena itu, tiada yang pantas kita lakukan selain atas nama cinta kita yang teragung: cinta buat Yang Maha Agung, Allah swt. Apa pun keputusan-Nya buat kita, cintalah yang mesti bicara.

Baca Selengkapnya >>>

Ambillah Wudhumu dan Kembalikan Sandalku

Kamis, 10 Februari 2011 · 0 comments

Suatu hari Nashruddin mengambil air wudhu di tepi sungai. Ketika selesai dan hendak mengenakan sepasang sandalnya, tiba-tiba salah satu sandal tersebut hanyut terbawa arus sungai. Nashruddin mengejarnya sambil menyerukan suara lantang. Lalu ia berpaling ke sungai dan berkata pada sungai, "Ambillah (air) wudhumu dan kembalikan sandalku!"

Baca Selengkapnya >>>

Ketika mas Gagah Pergi

Selasa, 08 Februari 2011 · 0 comments

Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"

"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?

"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…"Kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!

"Assalaamu’alaikum!"seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.

"Matiin kasetnya!"kataku sewot.

"Lho memangnya kenapa?"

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"

"Bodo!"

"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…"

"Pokoknya kedengaran!"

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"

"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.

Oala.

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.

"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"

"Lain gimana Ma?"

"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…"

Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."

Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"

"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"

"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"

Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."

Mas Gagah tersenyum.

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…," kataku.

"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

"Mau kemana Gita?"

"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."

"Ikut Mas aja yuk!"

"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.

"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!

"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.

"Ikhwan?’ ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.

"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.

"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…"

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.

"Mbak Ana?"

"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.

"Hidayah."

"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.

‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…

"Cuma lagi baca!"

"Buku apa?"

"Tumben kamu pingin tahu?"

"Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?"desakku.

"Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.

"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.

"Maaas…"

"Apa Dik Manis?"

"Gita akhwat bukan sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…" tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Mas kok nangis?"

"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…

"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.

"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.

"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"

"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.

"Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.

Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.

"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.

"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.

"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.

"Lho! " Mas Gagah bengong.

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.

"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.

"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.

"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…"

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "

"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.

"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

"Kriiiinggg!" telpon berdering.

Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"

"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.

"Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…" suara Papa lemah.

"Mas Gagaaaaahhhh" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.

" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.

Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."

Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.

"Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…" bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga."

Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."

"Gita…" suaraku serak menahan tangis.

Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.

"Mas…ini Gita Mas.." sapaku berbisik.

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

"Dzikir…Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.

"Gi..ta…"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.

"Gita di sini, Mas…"
Perlahan kelopak matanya terbuka.

"Aku tersenyum."Gita…udah pakai…jilbab…" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

"Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.


Epilog:

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.

Setitik air mataku jatuh lagi.

"Mas, Gita akhwat bukan sih?"

"Ya, insya Allah akhwat!"

"Yang bener?"

"Iya, dik manis!"

"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"

"Kok nanya gitu sih?"

"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"

"Ganteng kan?"

"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"

"Ya always dong, jihad itu…"

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!
Oleh : Helvi Tyana Rosa

Baca Selengkapnya >>>

Mencintai Itu Keputusan

Minggu, 06 Februari 2011 · 1 comments

Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia. Baru saja mekar. Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar kemudian iapun berkata, “Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang akan kamu temui di sini.” Itulah kalimat pertama Utsaman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya di Syam, Naila. Selanjutnya adalah bukti.

Sebab cinta adalah kata lain dari memberi... sebab memberi adalah pekerjaan... sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat... sebab pekerjaan itu harus ditunaikan dalam waktu lama... sebab pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh... maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia akan mengatakan, “Aku mencintaimu.” Kepada siapapun!

Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian di situ. “Aku mencintaimu,” adalah ungkapan lain dari, “Aku ingin memberimu sesuatu.” Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia... aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin... aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku, proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang kulakukan padamu... aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu...” Taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita. Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu,” kamu harus membuktikan ucapan itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.

Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap. Tidak ada cinta tanpa kepercayaan. Begitulah bersama waktu suami atau istri kehilangan kepercayaan kepada pasangannya. Atau anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Atau sahabat kehilangan kepercayaan kepada kawannya. Atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Semua dalam satu situasi: cinta yang tidak terbukti. Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak dipercaya rakyatnya.

Jalan hidup kita biasanya tidak linier. Tidak juga seterusnya pendakian. Atau penurunan. Karena itu konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional. Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Disitu konsistensi diuji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tegah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam situasi yang longgar.

Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya merasakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat lagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati. Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu. ~ Anis Matta ~

Baca Selengkapnya >>>

Ande-Ande Lumut

· 0 comments

 Ande-Ande Lumut
[Jawa Tengah]
Syair: Gesang

Putraku si Ande-Ande Lumut
Temuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, ngger, sing ayu rupane
Klenthing Abang iku kang dadi asmane
Adhuh, Ibu, kula dereng purun
Adhuh, Ibu, kula mboten mudhun
Nadyan ayu putri niku sisane si Yuyu Kakang

Putraku si Ande-Ande Lumut
Temuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, ngger, sing ayu rupane
Klenthing Ijo iku kang dadi asmane
Adhuh, Ibu, Ibu sampun meksa
Kang putra taksih dereng kersa
Amargi putra taksih nandhang asmara

Putraku si Ande-Ande Lumut
Temuruna ana putri kang unggah-unggahi
Putrine, ngger, sing ala rupane
Klenthing Kuning iku kang dadi arane
Adhuh, Ibu, kula inggih purun
Kang putra inggih badhe mudhun
Nadyan ala punika kang putra suwun

Baca Selengkapnya >>>

Sementara Matahari Terbit di Mata Dinda

· 0 comments

Suamiku ke luar kota lagi. Terpaksa deh nggak belanja ke pasar, nunggu tukang sayur aja yang biasa beredar di komplek. Waduh! Ibu-ibu, para tetanggaku udah pada ngumpul. Bakalan seru nih. Mereka tengah mengelilingi gerobak sayur yang berhenti tak jauh dari rumahku. Percakapan nggak penting pun meramaikan suasana pagi. Biasalah ibu-ibu...

”Mbak, suaminya ke luar kota lagi ya?’ tanya seorang tetanggaku padaku saat aku baru saja mengucapkan salam pada mereka.


Rata-rata tetanggaku masih muda juga, nggak jauh usianya dariku.
”Kalau saya sih, kalau suami saya lagi keluar kota, bawaannya tuh pingin tau aja dia lagi di mana, lagi ngapain.” Sahut seorang tetanggaku tiba-tiba.
”Suami mbak suka nelfon nggak?” tanya seorang tetanggaku yang lain padaku.


Duh, ibu-ibu sukanya ngurusin orang lain aja deh, gumamku dalam hati. Aku sih hanya bisa tersenyum.
”Kalau suami saya nih ya... ” kata tetangga depan rumahku, ”mesti diingetin dulu sebelum berangkat ’ntar kalo udah nyampe telfon’. Gitu... Kalo nggak diingetin bisa nggak ada kabar sampe pulang lagi ke rumah.”
”Iya memang... mereka nyantai aja, tapi kita yang khawatir di rumah.” sambung yang lain.


Dalam hati, kalau suamiku sih... tiap ke luar kota tujuannya jelas, bagian dari pekerjaannya. Jadi gimana mau khawatir?! Emang sih dia nggak pernah nelfon aku untuk ngasih tau dia sedang apa. Tapi cukup hanya dengan miscal aku, aku tahu kok dia ngapain aja.


Tiap pagi jam 3 dia miscal, tanda dia udah bangun, mau sholat malem. Jam 5 miscal lagi tanda dia udah sholat subuh, mau ngaji. Miscal Jam 7 tandanya dia udah makan, udah siap mau beraktivitas. Miscal jam 12 tandanya dia mau sholat zhuhur trus makan siang. Miscal jam 3 sore tandanya dia mau sholat ashar. Miscal jam 6 tandanya dia mau sholat maghrib dan diam di masjid sampe isya. Jam 8 malam dia miscal lagi tanda dia udah makan malam. Kalau deringnya lama tandanya dia mau ngobrol sama aku atau anak-anak. Kalau
nggak, ya berarti dia capek banget, mau langsung tidur.


”Kalo jeng ini mana khawatir, ibu-ibu.” bela tetangga sebelah rumahku, ”Lihat dong jilbabnya. Tinggal berserah diri sama Tuhan, ya sudah.” diikuti dengan anggukan ibu-ibu yang lain.
”Kalau suami saya itu ada lucunya juga... ” kata tetanggaku yang sedang memilih2 sayur bayam, ”kadang-kadang tengah malem dia nelfon ke rumah cuma mo bilang selamat tidur aja. Hi hi...”
”Wah, Kalo suami saya sih, suka nggak sensi. Kalo saya nelfon bilang lagi kangen sama dia, dia cuma bilang ’besok juga aku pulang’... Mbok ya bilang kangen juga gitu lho. Nggak sensi deh, nggak romantis!” gerutu seorang tetanggaku.


”Kalau suami mbak? Romantis nggak?” tanyanya padaku.
Walah?! Aku hanya tertawa kecil, lebih sibuk memilih ikan daripada ikut nimbrung percakapan mereka.
”Eh jangan salah. Jeng ini suaminya romantis buanget.” bela tetangga sebelah rumahku lagi.
Lha?! Aku jadi bingung. Kok malah dia yang lebih tahu.


”Pernah nih...” lanjutnya, ”pagi-pagi Jeng ini bikin kopi anget. Suaminya lagi duduk2 di depan rumah. Saya lagi nyapu halaman. Abis diminum sedikit sama suaminya, dia minta Jeng ini nyicipin. Ternyata kopinya itu pahit, lupa dikasih gula. Tapi gelasnya langsung ditarik sama suaminya. Tau nggak kata suaminya? Katanya gini... ’udah nggak pa pa, abis dicicipin dinda tadi, langsung manis tuh’. Gituuu...”
Waaa?! Semua orang memandangku... rasanya wajah ini sudah memerah jambu.
Tapi aku jadi inget kejadian sore itu. Hi hi hi. Lucu juga.


”Waduh waduh... nggak nyangka lho mbak.” komentar tetanggaku, ”Ternyata di balik itu...”
”Makanya jangan kayak nuduh suami orang nggak romantis gitu dong.” sahut tetanggaku yang lain.
”Kalo suami saya mah jauh dari romantis. Kalo saya lagi pusing, pinginnya kan dimanja, dipijetin. Eee ini malah disuruh minum obat. Kalo nggak ada, beli sendiri ke warung.” gerutu seorang tetanggaku.
”yah betul atuh. Kalo pusing mah minum obat, masa minum racun.” sahut si akang tukang sayur yang ternyata mengikuti perbincangan pagi itu. Tawa ibu-ibu pun menyambut ceplosannya. Aku jadi ikut ketawa juga. Tukang sayurnya ikut-ikutan aja deh.


Pikir-pikir, Kalo suamiku sih... kalo nemenin belanja, selalu ngangkatin barang2 belanjaan. Kalo aku masak pagi2 untuk sarapan, dia pasti nemenin aku duduk di ruang makan walaupun sebenernya dia masih ngantuk, nggak tega katanya kalo aku sendirian di dapur. Kalo aku lagi males nyetrika, dia bilang ’udah besok aja’, padahal baju itu mo dipake besok itu juga. Emang sih dia nggak bantuin nyetrika. Tapi aku kan jadi nggak beban. Tapi apakah suamiku romantis, aku masih ragu...


Pernah suatu kali saat suamiku berada dalam perjalanan ke luar kota. Aku lagi iseng nih ceritanya. Aku sms dia, ”abang, malam ini gelap ya? oh iya, kan bulannya lagi ke luar kota.” Dan tak berapa lama dia membalas, ”nggak ada bulan tuh disini, nda. gelap juga, sama.” He he he... ternyata dia nggak ngerti maksudku.
Tapi ah, ngapain aku pikirin. Romantis gak romantis, tetep cinta kok. Tiba-tiba hp-ku berbunyi di kantong gamisku.


”Wah, ada sms ya, Jeng. Pasti dari suaminya.” goda tetangga sebelah rumahku.
”Iya... tadi pagi saya sms nanyain gimana pagi di sana. Ini pertama kalinya dia datang ke kota itu.” jawabku sambil membaca apa yang tertulis di layar hp-ku itu.


”Apa jeng katanya?” usik tetanggaku yang penasaran melihat aku tersenyum geli.
”Nggak penting kok.” jawabku sambil memasukkan semua belanjaanku ke dalam plastik dan membayarnya. ”Yuk, ibu-ibu... assalaamu’alaykum.” Aku pun pamit pulang ke rumah.


Hmmm, masih dengan senyuman ini... tak bisa hilang kata-kata yang terbaca di layar hp itu dari benakku, jawaban saat kutanya keadaan pagi di kota tempat ia sedang berada.


”Dinda sayang... bagaimana hari bisa pagi di sini, sementara matahari terbit di mata dinda”

Baca Selengkapnya >>>

Dibalik cerita Pedonor sumsum tulang belakang dan pelaku pemerkosaan

Sabtu, 05 Februari 2011 · 0 comments

Seorang anak perempuan yang menderita leukimia ternyata menyimpan suatu kisah yang memalukan di suatu perkampungan Itali.Martha, 35 thn, adalah wanita yang menjadi pembicaraan semua orang.

Ia dan suaminya Peterson adalah warga kulit putih, tetapi diantara kedua anaknya, ternyata terdapat satu yang berkulit hitam. Hal ini menarik perhatian setiaporang disekitar mereka untuk bertanya, Martha hanya tersenyum kecil berkata pada mereka bahwa nenek berkulit hitam, dan kakeknya berkulit putih, maka anaknya Monika mendapat kemungkinan seperti ini

Musim gugur 2002, Monika yang berkulit hitam terus menerus mengalami demam tinggi. Terakhir ,Dr.Adely memvonis Monika menderita leukimia. Harapan satu-satunya hanyalah mencari pedonor sumsum tulang belakang yang paling cocok untuknya. Dokter menjelaskan lebih lanjut.

Diantara mereka yang ada hubungan darah dengan Monika merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan pedonor tercocok. Harap seluruh anggota keluarga kalian berkumpul untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang. Raut wajah Martha berubah, tapi tetap saja seluruh keluarga menjalani pemeriksaan.Hasilnya tak satupun yang cocok.Dokter memberitahu mereka, dalam kasus seperti Monika ini, mencari pedonor yang cocok sangatlah kecil kemungkinannya. Sekarang hanya ada satu carayang paling manjur, yaitu Martha dan suaminya kembali mengandung anak lagi. Dan mendonorkan darah anak untuk Monika.Mendengar usul ini Martha tiba-tiba menjadi panik, dan berkata tanpa suara : Tuhan..kenapa menjadi begini ?

Ia menatap suaminya, sinar matanya dipenuhi ketakutan dan putus asa. Peterson mengerutkan keningnya berpikir.Dr. Adely berusaha menjelaskan pada mereka, saat ini banyak orang yang menggunakan cara ini untuk menolong nyawa para penderita leukimia, lagi pula cara ini terhadap bayi yang baru dilahirkan sama sekali tak ada pengaruhnya. Hal ini hanya didengarkan oleh pasangan suami istri tersebut, dan termenung begitu lama. Terakhir mereka hanya berkata, Biarkan kami memikirkannya kembali.

Malam kedua, Dr. Adely tengah bergiliran tugas, tiba-tiba pintu ruang kerjanya terbuka, pasangan suami-istri tersebut.Martha menggigit bibirnya keras, suaminya Peterson, menggenggam tangannya, dan berkata serius pada dokter. “Kami ada suatu hal yang perlu memberitahumu. Tapi harap Anda
berjanji untuk menjaga kerahasiaan ini, karena ini merupakan rahasia kami suami-istri selama beberapa tahun”. Dr.Adely menganggukkan kepalanya.

Itu adalah 10 tahun lalu, bulan 5 tahun 1992.Waktu itu anak kami yang pertama,Eleana telah berusia 2 tahun. Martha bekerja di sebuah restoran fast food.Setiap hari pukul 10 malam baru pulang kerja. Malam itu, turun hujan lebat. Saat Martha pulang kerja, seluruh jalanan telah tiada orang satupun.
Saat melalui suatu parkiran yang tak terpakai lagi.

Martha mendengan suara langkah kaki, dengan ketakutan memutar kepala untuk melihat, seorang remaja berkulit hitam tengah berdiri di belakang tubuhnya.Orang tersebut menggunakan sepotong kayu, memukulnya hingga pingsan, dan memperkosanya. Saat Martha sadar, dan pulang ke rumah dengan tergesa-gesa, waktu telah menunjukkan pukul 1 malam. Waktu itu aku bagaikan gila keluar rumah mencari orang hitam itu untuk membuat perhitungan.Tapi telah tak ada bayangan orang satupun. Malam itu kami hanya dapat memeluk kepala masing-masing menahan kepedihan.Sepertinya seluruh langit runtuh.

Bicara sampai sini, Peterson telah dibanjiri air mata, Ia melanjutkan kembali . Tak lama kemudian Martha mendapati dirinya hamil. Kami merasa sangat ketakutan, kuatir bila anak yang dikandungnya merupakan milik orang hitam tersebut. Martha berencana untuk menggugurkannya, tapi aku masih mengharapkan keberuntungan, mungkin anak yang dikandungnya adalah bayi kami. Begitulah, kami ketakutan menunggu beberapa bulan. 


Maret 1993, Martha melahirkan bayi perempuan, dan ia berkulit hitam. Kami begitu putus asa, pernah terpikir untuk mengirim sang anak ke panti asuhan. Tapi mendengar suara tangisnya, kami sungguh tak tega. Terlebih lagi bagaimanapun Martha telah mengandungnya, ia juga merupakan sebuah nyawa.

Aku dan Martha merupakan pemeluk agama yang taat, pada akhirnya kami memutuskan untuk memeliharanya, dan memberinya namaMonika.

Mata Dr.Adely juga digenangi air mata, pada akhirnya iamemahami kenapa bagi kedua suami istri tersebut kembali mengandung anak merupakan hal yang sangat mengkuatirkan. Ia berpikir sambil mengangguk-anggukkan kepala berkata , “Memang jika demikian, kalian melahirkan 10 anak sekalipun akan sulit untuk mendapatkan donor yang cocok untuk Monika.”

Beberapa lama kemudian, ia memandang Martha dan berkata Kelihatannya, “Kalian harus mencari ayah kandung Monika. Barangkali sumsum tulangnya, atau sumsum tulang belakang anaknya ada yang cocok untuk Monika. Tetapi, apakah kalian bersedia membiarkan ia kembali muncul dalam kehidupan kalian ?”

Martha berkata : "Demi anak, aku bersedia berlapang dada memaafkannya. Bila ia bersedia muncul menyelamatkannya. Aku tak akan memperkarakannya. Dr.Adely merasa terkejut akan kedalaman cinta sang ibu. 


Berita pencarian yang istimewa ini mengakibatkan banjir pedonor sumsum tulang belakang.
Terlebih lagi lewat waktu begitu lama, mau mencari sang pemerkosa dimana Martha dan Peterson mempertimbangkannya baik-baik, sebelum akhirnya memutuskan memuat berita pencarian ini di koran dengan menggunakan nama samaran. November 2002, di koranWayeli termuat berita pencarian ini, seperti yang digambarkan sebelumnya. Berita ini memohon sang pelaku pemerkosaan waktu itu berani muncul, demi untuk menolong sebuah nyawa seorang anak perempuan penderita leukimia !


Begitu berita ini keluar, tanggapan masyarakat begitu menggemparkan. Kotak surat dan telepon Dr. Adely bagaikan meledak saja, kebanjiran surat masuk dan telepon, orang-orang terus bertanya siapakah wanita ini. Merekaingin bertemu dengannya, berharap dapat memberikan bantuan padanya. Tetapi
Martha menolak semua perhatian mereka, ia tak ingin mengungkapkan identitas sebenarnya, lebih tak ingin lagi identitas Monika sebagai anak hasil pemerkosaan terungkap.

Saat ini juga seluruh media penuh dengan diskusi tentang bagaimana cerita ini berakhir.(surat kabar Roma) Komentar dengan topik : Orang hitam itu akan munculkah ? Jika orang hitam ini berani muncul, akan bagaimanakah masyarakat kita sekarang menilainya? Akankah menggunakan hukum yang berlaku untuk menghakiminya? Haruskah ia menerima hukuman dan cacian untuk masa lalunya, ataukah ia harus menerima pujian karena keberaniannya hari ini ? 


(Surat kabar Wayeli) manulis topik Bila Anda orang berkulit hitam itu, apa tindakan yang Anda lakukan? sebagai bahan diskusi. Dan menarik berbagai pendapat akan sulitnya berada di dua pilihan ini. Bagian penjara setempat terus berupaya membantu Martha, memberikan laporan terpidana hukuman pada tahun 1992 pada RS. Dikarenakan jumlah orang berkulit hitam di kota ini hanya sedikit, maka dalam 10 tahun terakhir ini juga hanya sedikit jumlah terhukum berkulit hitam.Mereka berkata pada Martha :”Sekalipun beberapa orang bukanlah terhukum karena tindak perkosaan, tapi mungkin beberapa juga menemui hal seperti ini.”

Beberapa orang ini juga sebagian telah keluar penjara, sebagian lainnya masih berada di dalam penjara. Martha dan Peterson menghubungi beberapa orang ini, begitu banyak terpidana waktu itu yang bersungguh-sungguh dan antusias untuk memberikan petunjuk.

Tapi sayangnya, mereka semua bukanlah orang hitam yang memperkosanya waktu itu. Tak lama kemudian, kisah Martha menyebar ke seluruh rumah tahanan, tak sedikit terpidana yang tergerak karena kasih ibu ini, tak peduli mereka berkulit hitam maupun berkulit putih, mereka semua bersukarela mendaftar untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang, berharap dapat mendonorkannya untuk Monika. Tapi tak satupun pedonor yang memenuhi kriteria di antara mereka.


Berita pencarian ini mengharukan banyak orang, tak sedikit orang yang bersukarela untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang, untuk mengetahui apakah dirinya memenuhi kriteria. Para sukarelawan semakin lama semakin bertambah, di Wayeli timbullah wabah untuk mendonorkan sumsum tulang belakang.

Hal yang mengejutkan adalah kesediaan para sukarelawan ini menyelamatkan banyak penderita leukimia lainnya, sayangnya Monika tak termasuk diantara mereka yang beruntung. Martha dan Peterson menantikan dengan panik kemunculan si kulit hitam. Akhirnya dua bulan telah lewat, orang ini tak muncul-muncul juga. Dengan tidak tenang, mereka mulai berpikir, mungkin orang hitam itu sudah telah meninggalkan dunia ini. Mungkin ia telah meninggalkan jauh-jauh kampung halamannya. Sudah sejak lama tak berada di Itali. Mungkin ia tak bersedia merusak kehidupannya sendiri, tak ingin muncul

Tapi tak peduli bagaimanapun, asalkan Monika hidup sehari lagi, mereka tak rela untuk melepaskan harapan untuk mencari orang hitam itu. Disaat sebuah jiwa merana tak menentu, harapan selalu disaat keputusasaan melanda kembali muncul. Saat itu berita pencarian juga muncul di Napulese,
memporakporandakan perasaan seorang pengelola toko minuman keras berusia 30 tahun. Iaseorang kulit hitam, bernama Ajili. 


17 Mei 1992 waktu itu, iamemiliki lembaran tergelam merupakan mimpi terburuknya di malam berhujan itu. Ia adalah sang peran utama dalam kisah ini. Tak seorangpun menyangka, Ajili yang sangat kaya raya itu, pernah bekerja sebagai pencuci piring panggilan.Dikarenakan orang tuanya telah meninggal sejak iamasih muda, ia yang tak pernah mengenyam dunia pendidikan terpaksa bekerja sejak dini. Ia yang begitu pandai dan cekatan, berharap dirinya sendiri bekerja dengan giat demi mendapatkan sedikit uang dan penghargaan dari orang lain. Tapi sialnya, bosnya merupakan seorang rasialis, yang selalu mendiskriminasikannya. Tak peduli segiat apapun dirinya, selalu memukul dan memakinya.


17 Mei 1992, merupakan ulang tahunnya ke 20, ia berencana untuk pulang kerja lebih awal merayakan hari ulang tahunnya. Siapa menyangka, ditengah kesibukan ia memecahkan sebuah piring. Sang bos menahan kepalanya, memaksanya untuk menelan pecahan piring. Ajili begitu marah dan memukul sang bos, lalu berlari keluar meninggalkan restoran. Ditengah kemarahannya ia bertekad untuk membalas dendam pada si kulit putih. Malam berhujan lebat, tiada seorangpun lewat, dan di parkiran ia bertemu Martha. Untuk membalaskan dendamnya akibat pendiskriminasian, ia pun memperkosa sang wanita yang tak berdosa ini.

Tapi selesai melakukannya, Ajili mulai panik dan ketakutan. Malam itu juga ia menggunakan uang ulang tahunnya untuk membeli tiket KA menuju Napulese, meninggalkan kota ini. Di Napulese, ia bertemu keberuntungannya. Ajili mendapatkan pekerjaan dengan lancar di restoran milik orang Amerika. Kedua
pasangan Amerika ini sangatlah mengagumi kemampuannya, dan menikahkannya dengan anak perempuan merka, Lina, dan pada akhirnya juga mempercayainya untuk mengelola toko mereka. Beberapa tahun ini, ia yang begitu tangkas, tak hanya memajukan bisnis toko minuman keras ini, ia juga memiliki 3 anak yang lucu.

Dimata pekerja lainnya dan seluruh anggota keluarga, Ajili merupakan bos yang baik, suami yang baik, ayah yang baik. Tapi hati nuraninya tetap membuatnya tak melupakan dosa yang pernah diperbuatnya.

Ia selalu memohon ampun pada Tuhan dan berharap Tuhan melindungi wanita yang pernah diperkosanya, berharap ia selalu hidup damai dan tentram. Tapi ia menyimpan rahasianya rapat-rapat, tak memberitahu seorangpun. Pagi hari itu, Ajili berkali-kali membolak-balik koran, ia terus mempertimbangkan kemungkinan dirinyalah pelaku yang dimaksud. Sedikitpun ia tak pernah membayangkan bahwa wanita malangitu mengandung anaknya, bahkan menanggung tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga anak yang awalnya bukanlah miliknya.


Hari itu, Ajili beberapa kali mencoba menghubungi no.Telepon Dr.Adely. Tapi setiap kali, belum sempat menekan habis tombol telepon, ia telah menutupnya kembali. Hatinya terus bertentangan, bila ia bersedia mengakui semuanya, setiap orang kelak akan mengetahui sisi terburuknya ini, anak-anaknya tak akan lagi mencintainya, ia akan kehilangan keluarganya yang bahagia dan istrinya yang cantik. Juga akan kehilangan penghormatan masyarakat disekitarnya. Semua yang ia dapatkan dengan ditukar kerja kerasnya bertahun-tahun. 


Malam itu, saat makan bersama, seluruh keluarga mendiskusikan kasus Martha. Sang istri, Lina berkata : : "Aku sangat mengagumi Martha. Bila aku diposisinya, aku tak akan memiliki keberanian untuk memelihara anak hasil perkosaan hingga dewasa. Aku lebih mengagumi lagi suami Martha, ia sungguh pria yang patut dihormati, tak disangka ia dapat menerima anak yang demikian". Ajili termenung mendengarkan pendapat istrinya, dan tiba-tiba mengajukan pertanyaan :”Kalau begitu, bagaimana
kau memandang pelaku pemerkosaan itu “?

“Sedikitpun aku tak akan memaafkannya !!! Waktu itu ia sudah membuat kesalahan, kali ini juga hanya dapat meringkuk menyelingkupi dirinya sendiri, ia benar-benar begitu rendah, begitu egois, begitu pengecut ! Ia benar-benar seorang pengecut “! demikian istrinya menjawab dengan dipenuhi api kemarahan. Ajili mendengarkan saja, tak berani mengatakan kenyataan pada istrinya. Malam itu, anaknya yang baru berusia 5 tahun begitu rewel tak bersedia tidur, untuk pertama kalinya Ajili kehilangan kesabaran dan menamparnya. Sang anak sambil menangis berkata :"Kau ayah yang jahat, aku tak mau peduli kamu lagi. Aku tak ingin kau menjadi ayahku". Hati Ajili bagai terpukul keras mendengarnya, ia pun memeluk erat-erat sang anak dan berkata : "Maaf, ayah tak akan memukulmu lagi. Ayah yang salah, maafkan papa ya".

Sampai sini, Ajili pun tiba-tiba menangis. Sang anak terkejut dibuatnya, dan buru-buru berkata padanya untuk menenangkan ayahnya : "Baiklah, kumaafkan.Guru TK ku bilang, anak yang baik adalah anak yang mau memperbaiki kesalahannya”. Malam itu, Ajili tak dapat terlelap, merasa dirinya bagaikan terbakar dalam neraka. Dimatanya selalu terbayang kejadian malam berhujan deras itu, dan bayangan sang wanita. Ia sepertinya dapat mendengarkan jerit tangis wanita itu. Tak henti-hentinya ia bertanya pada dirinya sendiri : "Aku ini sebenarnya orang baik, atau orang jahat ?" Mendengar bunyi napas istrinya yang teratur, ia pun kehilangan seluruh keberaniannya untuk berdiri. 


Hari kedua, ia hampir tak tahan lagi rasanya. Istrinya mulai merasakan adanya ketidakberesan pada dirinya, memberikan perhatian padanya dengan menanyakan apakah ada masalah .Dan ia mencari alasan tak enak badan untuk meloloskan dirinya. Pagi hari di jam kerja, sang karyawan menyapanya ramah : "Selamat pagi, manager !" Mendengar itu, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat pasi, dalam hati dipenuhi perasaan tak menentu dan rasa malu.Ia merasa dirinya hampir menjadi gila saja rasanya.

Setelah berhari-hari memeriksa hati nuraninya, Ajili tak dapat lagi terus diam saja, iapun menelepon Dr. Adely. Ia berusaha sekuat tenaga menjaga suaranya supaya tetap tenang : "Aku ingin mengetahui keadaan anak malang itu”. Dr. Adely memberitahunya, keadaan sang anak sangat parah. Dr.Adely
menambahkan kalimat terakhirnya berkata :"Entah apa ia dapat menunggu hari kemunculan ayah kandungnya”. 


Kalimat terakhir ini menyentuh hati Ajili yang paling dalam, suatu perasaan hangat sebagai sang ayah mengalir keluar, bagaimanapun anak itu juga merupakan darah dagingnya sendiri ! Ia pun membulatkan tekad untuk menolong Monika. Ia telah melakukan kesalahan sekali, tak boleh kembali membiarkan dirinya meneruskan kesalahan ini. 


Malam hari itu juga, ia pun mengobarkan keberaniannya sendiri untuk memberitahu sang istri tentang segala rahasianya. Terakhir ia berkata : "Sangatlah mungkin bahwa aku adalah ayah Monika . Aku harus menyelamatkannya”. Lina sangat terkejut, marah dan terluka, mendengar semuanya, ia berteriak marah :"Kau PEMBOHONG !" 


Malam itu juga ia membawa ketiga anak mereka, dan lari pulang ke rumah ayah ibunya. Ketika ia memberitahu mereka tentang kisah Ajili, kemarahan kedua suami-istri tersebut dengan segera mereda. Mereka adalah dua orang tua yang penuh pengalaman hidup, mereka menasehatinya :"Memang benar, kita patut marah terhadap segala tingkah laku Ajili di masa lalu. Tapi pernahkah kamu memikirkan, ia dapat mengulurkan dirinya untuk muncul, perlu berapa banyak keberanian besar. Hal ini membuktikan bahwa hati nuraninya belum sepenuhnya terkubur. Apakah kau mengharapkan seorang suami yang pernah melakukan kesalahan tapi kini bersedia memperbaiki dirinya ? Ataukah seorang suami yang selamanya menyimpan kebusukan ini didalamnya ?" Mendengar ini Lina terpekur beberapa lama.


Pagi-pagi di hari kedua, ia langsung kembali ke sisi Ajili, menatap mata sang suami yang dipenuhi penderitaan, Lina menetapkan hatinya berkata :"Ajili, pergilah menemui Dr. Adely ! Aku akan menemanimu !"

3 Februari 2003, suami istri Ajili, menghubungi Dr. Adely.8 Februari, pasangan tersebut tiba di RS Elisabeth, demi untuk pemeriksaan DNA Ajili. Hasilnya Ajili benar-benar adalah ayah Monika. Ketika Martha mengetahui bahwa orang hitam pemerkosanya itu pada akhirnya berani memunculkan dirinya,ia pun tak dapat menahan air matanya. Sepuluh tahun ini ia terus memendam dendam kesumat terhadap Ajili, namun saat ini ia hanya dipenuhi perasaan terharu. Segalanya berlangsung dalam keheningan. Demi untuk melindungi pasangan Ajili dan pasangan Martha, pihak RS tidak mengungkapkan dengan jelas identitas mereka semua pada media, dan juga tak bersedia mengungkapkan keadaan sebenarnya, mereka hanya memberitahu media bahwa ayah kandung Monika telah ditemukan.

Berita ini mengejutkan seluruh pemerhati berita ini. Mereka terus-menerus menelepon, menulis surat pada Dr. Adely, memohon untuk dapat menyampaikan kemarahan mereka pada orang hitam ini, sekaligus penghormatan mereka padanya. Mereka berpendapat :"Barangkali ia pernah melakukan tindak pidana, namun saat ini ia seorang pahlawan !"


10 Februari, kedua pasangan Martha dan suami memohon untuk dapat bertemu muka langsung dengan Ajili. Awalnya Ajili tak berani untuk menemui mereka, namun pada permohonan ketiga Martha, iapun menyetujui hal ini. 18 Februari, dalam ruang tertutup dan dirahasiakan di RS, Martha bertemu langsung dengan Ajili.

Ajili baru saja memangkas rambutnya, saat ia melihat Martha, langkah kakinya terasa sangatlah berat, raut wajahnya memucat. Martha dan suaminya melangkah maju, dan mereka bersama-sama saling menjabat tangan masing-masing, sesaat ketiga orang tersebut diam tanpa suara menahan kepedihan, sebelum akhirnya air mata mereka bersama-sama mengalir. Beberapa waktu kemudian, dengan suara serak Ajili berkata : "Maaf...mohon maafkan aku !"

Kalimat ini telah terpendam dalam hatiku selama 10 tahun. Hari ini akhirnya aku mendapat kesempatan untuk mengatakannya langsung kepadamu. Martha menjawab :"Terima kasih Kau dapat muncul. Semoga Tuhan memberkati, sehingga sumsum tulang belakangmu dapat menolong putriku".

19 Februari, dokter melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang Ajili. Untungnya, sumsum tulang belakangnya sangat cocok bagi Monika. Sang dokter berkata dengan antusias : "Ini suatu keajaiban !"

22 Februari 2003, sekian lama harapan masyarakat luas akhirnya terkabulkan. Monika menerima sumsum tulang belakang Ajili, dan pada akhirnya Monika telah melewati masa kritis. Satu minggu kemudian, Monika boleh keluar RS dengan sehat walafiat. Martha dan suami memaafkan Ajili sepenuhnya, dan secara khusus mengundang Ajili dan Dr. Adely datang kerumah mereka untuk merayakannya. Tapi hari itu Ajili tidak hadir, ia memohon Dr. Adely membawa suratnya bagi mereka. 


Dalam suratnya ia menyatakan penyesalan dan rasa malunya berkata :"Aku tak ingin kembali mengganggu kehidupan tenang kalian. Aku berharap Monika berbahagia selalu hidup dan tumbuh dewasa bersama kalian. Bila kalian menghadapi kesulitan bagaimanapun, harap hubungi aku, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu kalian". Saat ini juga, aku sangat berterima kasih pada Monika, dari dalam lubuk hatiku terdalam, dialah yang memberiku kesempatan untuk menebus dosa. Dialah yang membuatku dapat memiliki kehidupan yang benar-benar bahagia di saparoh usiaku selanjutnya. Ini adalah hadiah yang ia berikan padaku !
( Italia post)

Baca Selengkapnya >>>

Anak Kukang

· 0 comments

 Anak Kukang
[Sulawesi Selatan]

Kukana tuni pela tuni buang ritamparang
Tuni ayukkan rijene narampung tau maraeng
Caddi caddi dudu inja nana pellaka ammaku
Mantang mama kalekale tuguru jenne matanku

Aule ... sare-sare nai kukang sayang
Sare tenama kucini lino empo tenama tanena
Aule ... sare-sare nai kukang sayang
Sare tenama kucini lino empo tenama tanena

Baca Selengkapnya >>>

Cinta Laki-Laki Biasa

· 0 comments

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -

Baca Selengkapnya >>>

Cari Apa Saja Disini


ShoutMix chat widget

Multi Posting Area

Web Stats

website-hit-counters.com
Powered by  MyPagerank.Net
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
 

IcyBlue | Copyright © 2010 - Blogger Designed By Jasa Adsense Powered By How To Traffic Website Supported by Increase Traffic For Website

javascript:void(0)