Tampilkan postingan dengan label Artikel Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Lima E Sikap Guru Berkualitas

Senin, 24 Januari 2011 · 0 comments

Dalam dimensi operasional terutama pada jalur sekolah, guru merupakan salah satu unsur pendidikan lebih khusus lagi dalam tingkatan instruksional dan eksperiensial. Guru berada dalam front terdepan pendidikan yang berhadapan secara langsung dengan peserta didik melalui proses interaksi instruksional sebagai wahana terjadinya proses pembelajaran siswa dengan nuansa pendidikan. Dalam proses ini terjadilah suasana eksperiensial yaitu diperolehnya pengalaman belajar siswa untuk memperoleh perubahan perilaku ke arah yang lebih baik sesuai dengan tujuan pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penentu kualitas proses dan hasil pendidikan terletak pada kinerja “ perilaku mengajar “ para guru ( Mohamad Surya : 2003 ).

Perilaku mengajar guru yang diwujudkan dalam “interaksi pengajaran” menimbulkan “ perilaku belajar “ siswa. Yang pada gilirannya akan menghasilkan “hasil “ para siswa. Dalam konteks ini terjadi keterkaitan timbal balik antara “ perilaku mengajar”, “ interaksi pengajaran “. “ perilaku belajar”, dan “ hasil belajar. “. Kualitas hasil belajar sebagai indikator kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas “perilaku belajar” siswa yang terwujud melalui proses “interaksi pengajaran” yang dikreasikan oleh “ perilaku mengajar “ dari guru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keefektivan pendidikan diawali dengan kualitas “ perilaku mengajar “ dari para guru.

Kualitas perilaku mengajar dari guru ditentukan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal, seperti tingkat pendidikan, penguasaan subjek, pengalaman, kualitas kepribadian, kualitas kehidupan, sikap dan ahaan diharapkan dapat mengubah pola pikiran ketergantungan kepada instansi formal menuju kemandirian yang lebih kreatif untuk menciptakan lapangan kerja.pandangan lingkungan masyarakat, dan lain sebagainya. Dengan kata lain kualitas perilaku guru dalam menyiasati segenap tugas profesinya menjadi kunci keberhasilan pendidikan. Kualitas perilaku guru itulah mengantarkan guru tersebut dikategorikan sebagai “guru berkualitas”. Guru berkualitas biasanya menjadi idola masyarakat terlebih khusus peserta didiknya. Ada pun guru yang diidolakan itu mempunyai sikap 5 E ( efektif, edukatif, evaluatif, energik, dan emansipatif ) terpadu dalam dirinya sebagai sosok seorang guru.

Pertama, efektif. Pembelajaran dikatakan efektif apabila mampu memberikan

pengalaman baru, dan membentuk kompetensi peserta didik serta mengantarkan mereka ke tujuan yang ingin dicapai secara optimal ( E. Mulyasa : 2006 ).

Pembelajaran efektif hanya akan terjadi apabila diampu oleh guru efektif. Guru efektif selalu melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajarannya. Siswa dipersilakan mengunyah-unyah materi pelajaran hingga lumat melalui berbagai kegiatan praktikum, diskusi, tanya jawab , debat terarah dan lain-lain untuk menuju pemahaman materi di bawah kendali guru efektif. Oleh karenanya guru efektif dituntut selalu memperbaiki kinerjanya , misalnya melalui penelitian tindakan kelas ( PTK ) atau pun melalui kajian mendalam tentang proses pembelajaran ( lesson study ).

Di dalam pelaksanaan pembelajaran kesehariannya, guru tak dapat melepaskan dengan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang diberikan kepada siswa hendaknya tidak hanya tentang apa, siapa dan di mana akan tetapi lebih banyak menekankan pada pertanyaan mengapa atau bagaimana. Oleh karena itu mengemukakan permasalahan ( problem ) kepada siswa jauh lebih berbobot daripada pemberian informasi melulu. Siswa hendaknya diajak memecahkan permasalahan, berpikir kritis, dan membangun semangat untuk memiliki keingintahuan yang tinggi.

Kedua, edukatif. Edukatif merupakan peran utama dan terutama khususnya untuk peserta didik pada jenjang pendidikan dasar ( SD dan SMP ). Peran ini lebih tampak sebagai teladan bagi peserta didik, sebagai role model, memberikan contoh dalam hal sikap dan perilaku dan membentuk kepribadian peserta didik ( Suparlan : 2005 ).

Di dalam perannya sebagai edukator, guru diharapkan memenuhi perannya sebagai : a) pengembang kepribadian peserta didik, b) pembimbing peserta didik, c) pembina budi pekerti peserta didik dan d) pemberi pengarahan kepada peserta didik. Dengan kata lain guru hendaknya membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya , membentuk kompetensi, dan memahami materi standar yang dipelajari. Di dalam pembelajaran , guru harus berpacu memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal.

Ketiga, evaluatif. Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan serta vsrisbel lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap penilaian. Tak ada proses pembelajaran tanpa penilaian . Mengapa ? Karena penilaian merupakan proses menetapkan kualitas hasil belajar atau proses untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran ( E. Mulyasa : 2005 ).

Mengingat penilaian itu harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip dan teknik yang sesuai , maka guru perlu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memadai. Selama menilai peserta didik, guru hendaknya secara menyadari kesalahan dan kekurangannya melalui refleksi balikan dari peserta didik. Hal ini untuk memperbaiki langkah-langkah yang lebih berkualitas. Guru yang mau menilai kemampuan kognitif, perilaku dan keterampilan secara terpadu pada peserta didiknya adalah guru yang bertanggung jawab. Selain menilai hasil belajar peserta didik , guru harus mau menilai dirinya sendiri secara objektif . Guru yang demikian inilah merupakan guru yang benar-benar evaluatif.

Keempat, energik. Energi adalah tenaga. Energik berarti tenaganya digunakan secara maksimal. Guru yang energik adalah guru yang melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh dalam hal pikiran, tenaga, waktu dan konsentrasinya. Guru energik selalu mengabdikan segenap kemampuannya secara totalitas demi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya dan peningkatan kualitas peserta didik khususnya. Ia selalu energik dalam mengembangkan berbagai metode pembelajarannya, menerapkan berbagai strategi, meningkatkan penguasaan materi ajar, merancang pengadaan media pembelajaran yang sesuai, hemat dalam memenejemen waktu, selalu berusaha menerapkan pembelajaran dengan konsep PAKEM ( produktif, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan ) dan mampu menmggugah semangat dan ide-ide baru peserta didiknya.

Kelima, emansipatif. Emansipasi adalah pembebasan kaum budak menjadi kaum yang merdeka. Dengan kata lain emansipasi adalah persamaan hak. Sebagai kaum pendidik, guru seharusnya menyadari bahwa di dalam tugasnya terkandung unsur keadilan, penggugah semangat peserta didik dan penerang dalam kegelapan generasi masa depan. Dengan modal memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insan, guru hendaknya menyadari bahwa kebanyakan manusia merupakan budak stagnasi kebudayaan ( E. Mulyasa : 2005 ).

Dalam komunitas makhluk hidup pada umumnya dan komunitas siswa khususnya pasti ada kelompok pandai, sedang dan kurang pandai, kelompok aktif, sedang dan kurang aktif, kelompok rajin,sedang dan kurang rajin, dan lain-lain yang ujungnya secara psikologis mereka itu membuat kelompok-kelompok yang anggotanya dianggap setara.

Kelompok yang terakhir yakni kelompok kurang mampu, kurang pandai,kurang rajin, kurang aktif, kurang cerdas sering mengalami minder, kurang percaya diri, tidak termotivasi untuk mengembangkan diri dan paling parah timbulnya perasaan putus asa.

Menghadapi kelompok yang demikian ini , guru hendaknya segera bertindak sesuai perannya sebagai emansipator. Mengembalikan kelompok ini menjadi bangkit, termotivasi, percaya diri dan tidak putus asa adalah peran guru sebagai emansipator.

Demikian lima E sikap guru yang diidolakan oleh para siswa maupun masyarakat di lingkungannya sekaligus merupakan sikap guru berkualitas. Apabila guru benar-benar bersikap sebagaimana disebut lima E di atas maka akan meningkatkan kualitas sekolahnya, kualitas peserta didiknya dan pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan. Apabila guru menyadari peran yang mulia ini, guru mau dan mampu menerapkan pada peserta didiknya niscaya akan terwujud jembatan penghubung dari ketidaktahuan menjadi pandai, dari keputusasaan menjadi bangkit untuk menwujudkan masa depannya yang lebih berkualitas.

Mudah memang untuk dikata lima E akan tetapi sulit untuk diwujudkan. Sikap lima E untuk guru merupakan penyiapan menuju guru professional. Padahal profesionalisme guru merupakan suatu keharusan seiring dengan kemajuan jaman . Dengan demikian upaya pemahaman guru terhadap lima sikap E ini perlu dilakukan. Mengapa ? Sikap lima E guru ini lebih terfokus pada kualitas kemampuan guru. Seperti dirangkum oleh Simon dan Alexander ( 1980) dalam E. Mulyasa (2005) bahwa lebih dari 10 hasil penelitiannya di negara-negara berkembang, menunjukkan adanya 2 kunci penting dari peran guru yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar peserta didiknya yaitu jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran di kelas dan kualitas kemampuan guru.

Oleh Drs. MARIJAN
Praktisi Pendidikan di SMPN 5 Wates Kulonprogo Yogyakarta

Baca Selengkapnya >>>

Sepuluh Fenomena Pendidikan Kita

· 0 comments

Masalah pendidikan dewasa ini semakin menjadi perhatian. Tidak mengherankan mengingat pendidikan adalah milik dan tanggung jawab masyarakat. Kedudukan pendidikan sangat strategis menuju arah tercapainya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Berbagai upaya dihimpun dan dikerahkan untuk mencapai peningkatan kualitas pendidikan, terutama pendidikan formal di sekolah-sekolah. Peningkatan sumber daya manusia artinya usaha untuk menghasilkan manusia yang beriman dan bertaqwa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, cerdas, tangguh, kreatif, terampil dan beretos kerja sebagaimana diamanatkan GBHN ( GBHN 1998 ).

Jika tujuan tersebut tercapai sepenuhnya patut mendapat acungan jempol. Tetapi tidak semudah apa yang dikatakan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini tidak dapat dicapai dengan membaca sim salabim ala kedabra akan tetapi harus diupayakan sedemikian rupa menyangkut kepedulian masyarakat dan perhatian penuh pemerintah, tenaga kependidikan serta kesanggupan para siswa itu sendiri.

Pertanyaan pun muncul, mengapa usaha peningkatan sumber daya manusia belum dapat segera terwujud ? Jawabnya cukup kompleks. Artinya banyak hal yang mempengaruhi sekaligus menjadi kendala bagi tercapainya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kendala yang dimaksud adalah adanya kondisi yang sangat ironis bahkan bertolak belakang dalam dunia pendidikan kita. Kondisi yang bertolak belakang tersebut artinya ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan. Harapan dari produk pendidikan sangatlah mutlak dan ideal akan tetapi kenyataan proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta daya dukung masyarakat belum dapat dikatakan seimbang.

Pertama, sistem pendidikan. Peningkatan kualitas SDM seperti yang termaktup dalam GBHN sangat ideal yang masih sulit dicapai dengan sistem pendidikan kita sekarang ini. Dapat kita lihat sejauh mana pendidikan di sekolah (SMP misalnya) berupaya membentuk siswa-siswanya menyandang sifat yang memuaskan seperti disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional di GBHN itu?

Kalau kita cermati sistem pendidikan kita terbentur dalam ketidaksinkronan yang ada. Idealisme tujuan pendidikan memang tinggi sementara sistem pendidikan belum mendukung terbentuknya manusia berkualitas karena banyak dijumpai fenomena di lapangan. Contohnya fenomena penyeragaman menjadi ciri khas sistem pendidikan kita. Siswa selalu dihadapkan berbagai keseragaman baik duduknya, pakaiannya, cara mengerjakan soal, cara berpikir, bertanya, buku maupun kurikulumnya. Di satu sisi memudahkan pengaturan siswa dan mengekang emosionalnya akan tetapi di lain pihak memenggal kebebasan siswa termasuk kognitifnya. Betapa tidak ! Siswa mau muncul, dikekang kurikulum. Mau lari dikekang penjadwalan dan mau tidur dikekang etika. Bukankah hal ini berarti mengebiri kreativitas siswa? Tidaklah sekolah malah menjadi pabrik pencetak manusia penurut ? Bukan lagi kreativitas yang diperoleh tetapi kebebasan berpikir terbelenggu dengan model-model hafalan pada kegiatan belajar mengajar dan evaluasinya.

Fenomena lain adanya penjejalan bahan pelajaran pada siswa. Untuk mengantisipasi hal itu siswa masih harus mengikuti bimbingan tes atau les privat untuk mendukung pemahaman terhadap mata pelajaran yang dipelajarinya.

Kedua, ketidaksesuaian latar belakang pendidikan dengan lapangan pekerjaan. Fakta memaksa harus puas lulusan SMA bekerja di pabrik gilingan batu, lulusan sarjana filsafat bekerja sebagai satpam di hotel-hotel. Kita dapat angkat bicara seolah-olah tidak ada fungsinya hafalan-hafalan mata pelajaran dengan pekerjaan di tempat kerjanya. Di lingkungan PNS pun banyak ditemui fenomena yang sama. Seorang insinyur bekerja di Depdiknas bagian anggaran.

Ketiga, depopulasi guru idola. Pada mulanya, profesi guru diidentikkan dengan seorang guru di dalam dunia pewayangan yang segenap sifatnya menunjukkan kearifan , kesabaran, keteladanan, dan serba tahu. Pendek kata guru adalah sosok manusia yang bisa di gugu dan ditiru dalam segala hal. Namun bagaimana kenyataannya? Masih ada satu, dua atau lebih guru belum bisa memeuhi panggilan seorang guru dengan serentetan keterbatasan dan kekurangdisiplinannya. Misalnya masuk kelas mesti terlambat, keluar kelas mendahului bel dan sering menunda jawaban ketika ada siswa bertanya. Banyak lagi hal yang menurunkan citra seorang guru. Bukankah erat sekali hubungannya antara sikap guru, mata pelajaran , dan sikap tanggapan dari siswa?

Keempat, guru dan gajinya. Tidak masalah guru diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa asal jangan diselewengkan menjadi pahlawan tanpa jasa. Tugas guru sangatlah berat karena harus menyelamatkan generasi masa depan dari kebutaan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewarnai keadaan bangsa yang akan datang. Namun adanya ketidaksesuaian terpaksa harus diungkapkan. Gaji guru tidak membuat silau si tukang batu, pelayan toko tersenyum sinis memegang kumis melihat guru menunduk menangis. Padahal tugas dan tanggung jawab seorang guru tidak sama dengan seorang tukang batu .

Guru membutuhkan buku bacaan seperti koran dan televisi sebagai media informasi, sementara anak dan istri berdiri di rumah menanti datangnya gaji. Haruskah seorang guru nyambi pekerjaan lain seperti ngojek untuk menopang ekonomi ? Padahal kewibawaan guru harus dimiliki dan sangat erat hubungannya dengan pemilikan materi. Jika demikian adanya nyaris eksistensi guru sebagai ujung tombak pendidikan menjadi tumpul dan bukan tidak mungkin jika nantinya terbentuk generasi yang tumpul juga. Bukankah hal ini tidak kita inginkan ?

Kelima, orang tua siswa dan masyarakat. Orang tua siswa selalu menghendaki anaknya menjadi orang yang berguna di kelak kemudian hari. Syarat pokoknya diawali dengan melek huruf, melek angka, melek alam sekitar dan melek kawruh. Untuk itu anaknya disekolahkan secara formal agar menjadi anak yang berkualitas. Akan tetapi sering harapan itu tidak seimbang.

Pasalnya orang tua sibuk dengan rutinitas tugas kesehariannya, pergi pagi pulang malam tanpa ada waktu senggang. Kapankah orang tua harus mengontrol, mengawasi dan mendidik putra putrinya? Ini dialami orang tua sibuk berstatus tinggi di kota.

Masyarakat selalu menyorot guru sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. Guru diharapkan menyandang sifat-sifat yang semuanya merupakan ciri manusia yang handal kualitasnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa guru yang berkualitas diharapkan dapat membentuk siswa yang juga berkualitas. Tetapi harus kita ingat guru berasal dari LPTK semacam IKIP, SPG, SGO dan PGSD. Kalau mau mendata siapa orang – orang yang masuk ke LPTK tersebut ? Pada umumnya LPTK adalah pilihan terakhir, itupun mukanya cemberut merasa dirinya tersisih dan merupakan sisa sortiran universitas.

Masyarakat tampaknya sudah mempunyai satu pandang melarang anaknya masuk IKIP lebih-lebih anak yang prestasinya baik. Bukankah semua ini merupakan suatu ketidaksinkronan / kepincangan ? Di satu sisi masyarakat mengharapkan kualitas seorang guru akan tetapi di sisi lain tidak mendukung pembentukan bibit guru yang berkualitas. Karena biasanya guru yang berkualitas berasal dari siswa yang juga berprestasi. Walaupun siswa berprestasi bukan jaminan menjadi sosok yang berkualitas mengingat kriteria kualitas tidak hanya diambil dari prestasi nilai kognitifnya saja.

Keenam, siswa selaku subyek pendidikan. Kurangnya minat baca bagi siswa mmengawali rendahnya kualitas siswa itu sendiri. Sementara mereka senang membicarakan tokoh-tokoh sukses, orang-orang tenar, kaya, cendekiawan, insinyur dan lain sebagainya. Disisi lain mereka masih enggan untuk belajar, membaca dan tak mau melirik perpustakaan. Budaya ngobrol, nonton TV, nongkrong dan kumpul-kumpul agaknya mengangkangi proporsi waktu hari-hari yang dilewatinya

Ketujuh, rendahnya anggaran sarana dan prasarana pendidikan. Dalam proses pembelajaran, pelajaran IPA perlu alat dan bahan untuk praktikum, pelajaran olah raga perlu alat olahraga, seni tari perlu radio tip dan kasetnya, perpustakaan butuh kehadiran buku dan petugasnya. Sudahkah semua itu memadai ? Sudah tepatkah penggunaan anggaran di sekolah masing-masing ? Sudahkah direalisasikan anggaran untuk bidang pendidikan sebanyak 20 % dari APBN ?

Kedelapan, bentuk soal tes dan evaluasi dalam persekolahan kita. Soal ulangan harian, ulangan mid semester, ulangan umum dan soal ujian nasional persekolahan kita selalu menerapkan soal pilihan ganda. Anak tidak pernah bermain bahasa dengan bahasanya sendiri. Anak hanya disuguhi pilihan yang cara pengerjaannya pun bisa dilakukan dengan ngawur. Anak selalu bisa mengerjakan beberapa soal dalam waktu hanya hitungan menit. Semua soal bisa terselesaikan. Anak hanya berpikir sepotong-sepotong dan tidak berpikir secara utuh dalam menghadapi setiap butir soal.

Kesembilan, sistem penilaian dalam persekolahan kita. Penskoran dari soal pilihan ganda yang tidak menerapkan sistem denda jelas-jelas merupakan tindakan ceroboh dalam sistem evaluasi pendidikan. Jawaban yang salah merupakan cermin pengerjaan ngawur. Mestinya, jawaban yang salah untuk mendendanya dengan harapan anak nekat menjawab tanpa didasari pemikiran yang benar. Anak akan takut menjawab ngawur. Contoh, 50 soal pilihan ganda dengan skor 100 dijawab 30 benar semua maka nilainya 60. Akan tetapi apabila dijawab semua dan benar 30 maka nilainya 60 – 40 = 20 bukan 60.

Kesepuluh , maraknya sistem penerimaan kerja melalui jalur KKN ( Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ). Anak tidak termotivasi belajar yang keras karena ada jalan pintas mencari pekerjaan dengan model kolusi. Apabila sistem ini terus membudaya dalam masyarakat maka akan menghancurkan tumbuhnya jiwa kemandirian dan mematikan kreativitas pada generasi masa depan.

Sekarang lengkap sudah disebutkan, hal-hal yang saling antagonis antara harapan dan kenyataan, antara idealisme dan pencapaian. Bagaimana mengatasi sederetan fenomena dan kepincangan yang masih marak di lapangan tersebut. Tidak semudah yang kita inginkan mengatasi fenomena ynag kompleks itu. Perlu perencanaan yang matang, upaya yang ekstra keras dan pengawasan yang baik dalam pelaksanaan proses belajar mengajar demi keberhasilan terbentuknya sumber daya mnanusia yang berkualitas.

Dengan menengok kepincangan yang ada agaknya langkah pertama yang perlu diambil ialah menempatkan anggaran pendidikan pada posisi optimal. Peningkatan anggaran ini di gunakan untuk peningkatan kesejahteraan guru maupun peningktan kualitas sumber daya manusia. Seperti halnya dosen, peningkatan kualitasnya selalu dilakukan yang dibiayai oleh negara atau perguruan tinggi yang bersangkutan. Ironis kiranya jika guru selalu disudutkan mengenai belum bisa dihasilkannya SDM yang berkualitas dari sistem pendidikan kita ini sedangkan kualitas guru tidak pernah diupayakan.

Langkah kedua, memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas SDM. Hendaknya masyarakat menyadari bahwa tanggung jawab pendidikan ada di tangan pemerintah, tenaga kependidikan dan masyarakat. Untuk itu masyarakat jangan membebani tenaga kependidikan, misalnya orang tua tidak boleh emosi jika mendengar anaknya dipanggil guru BP, demikian juga melihat nilai rapot anaknya jelek.

Langkah ketiga menumbuhkembangkan siswa untuk lebih meningkatkan semangat belajar, membaca, terampil, kreatif dan kritis terhadap lingkungan.

Oleh: Drs.Marijan
Praktisi Pendidikan di SMPN 5 Wates Kulon Progo Yogyakarta

Baca Selengkapnya >>>

Lima D Kesalahan Guru

Jumat, 21 Januari 2011 · 0 comments

Lima D Kesalahan Guru

Oleh Drs. MARIJAN
Praktisi Pendidikan di SMPN 5 Wates Kulon Progo Yogyakarta

SEDIKITNYA ada syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia ( SDM) yakni ; (1) sarana gedung, (2) buku yang berkualitas dan (3) guru dan tenaga kependidikan yang professional. Demikian diungkapkan oleh mantan Mendiknas Wardiman Jayanegoro dalam wawancaranya dengan TPI pada tanggal 16 Agustus 2004. Dikemukakan bahwa hanya 43% guru yang memenuhi syarat dan 57 % tidak atau belum memenuhi syarat , tidak berkompeten dan tidak profesional. Pantas apabila kualitas pendidikan kita jauh dari harapan dan kebutuhan.

Dikatakan Mukhtar (2003) bahwa sebuah pembelajaran sangat ditentukan keberhasilannya oleh kiat masing-masing guru di kelas. Tenaga pengajar yang professional akan terukur dari sejauh mana dia menguasai kelas yang diasuhnya, hingga mengantarkan peserta didiknya mencapai hasil yang optimal. Di tangan gurulah sebuah proses pembelajaran dapat berlangsung dan pada guru pula pembelajaran diarahkan ke mana siswa akan dibawa.

Hal tersebut senada dengan hasil penelitian John Godlad dalam Suyanto (2001). Ia seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran. Di dalam kelas guru dapat melakukan apa saja. Dia dapat tampil sebagai sosok yang menarik sehingga mampu menularkan virus n-Ach ( needs for Achievement ) atau motivasi berprestasi. Tetapi guru juga dapat tampil sebagai sosok yang membosankan, instruktif dan tidak mampu menjadi idola bagi siswanya.

Beberapa pendapat di atas menguatkan pendapat bahwa kualitas out put pendidikan ( siswa ) sangat ditentukan oleh kualitas proses pembelajaran. Menyadari hal ini, kualitas guru memegang proporsi paling dominasi. Artinya proses pembelajaran yang diampu oleh guru berkualitas, peningkatan kualitas peserta didik akan tercipta. Sebaliknya guru yang tidak berkualitas tidak akan mungkin menghasilkan peserta didik yang berkualitas tinggi.

Diduga bahwa penyebab utama rendahnya kualitas pendidikan ini disebabkan oleh kualitas guru yang memang rendah. Rendahnya kualitas guru barangkali disebabkan oleh 5 D ( Disorientasi, Destruktif disiplin, Diskriminatif, Diktatorial, dan Dominator ) kesalahan guru itu sendiri.

Pertama, disorientasi . Orientasi pembelajaran sering beralih dari orientasi yang seharusnya. Mestinya, orientasi pembelajaran adalah proses dan hasil akan tetapi proses sering dikesampingkan. Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia berorientasi pada Nilai Ujian Nasional (NUN) yang soalnya hanya menyangkut ranah kognitif saja. Orientasi pembelajaran mestinya mengembangkan aktivitas siswa namun yang terjadi di lapangan adalah pengedepanan aktivitas guru. Orientasi pembelajaran yang ideal tentunya pada penguasaan proses dan hasil terhadap sejumlah matreri ajar, akan tetapi yang terjadi berorientasi target kurikulum. Pembelajaran akan lebih bermanfaat apabila orientasi pada pemecahan masalah-masalah kehidupan yang akan dihadapi siswa tetapi yang disodorkan justru penghafalan fakta-fakta, prisip-prinsip dan hukum-hukum produk mata pelajaran.

Kedua, destruktif disiplin. Destruktif disiplin berarti tindakan yang memusnahkan atau menghancurkan disiplin itu sendiri. Tindakan ini sering dilakukan oleh sebagian besar guru. Pada mulanya guru ingin menerapkan kedisiplinan pada peserta didiknya. Di dalam penanaman disiplin ini tidak semulus yang dibayangkan akan tetapi sering terjadi sebaliknya. Ada-ada saja pelanggaran yang dilakukan siswa.

Menghadapi adanya pelanggaran yang dilakukan siswa seringkali guru memberikan hukuman yang tidak setimpal, over acting bahkan tidak sesuai dengan kesalahan yang dilakukan oleh siswa. Padahal Ki Hadjar Dewantoro telah memberikan pengertian dan teladan bahwa hukuman yang diberikan kepada siswa hendaknya selaras dengan kesalahannya, diberikan secara adil dan segera diberikannya beserta penjelasan kesalahannya sebagaimana tertuang pada Majalah Wasito Edisi 08 Jilid I 1929.Hukuman terhadap kesalahan peserta didik di lapangan sering tidak dilihat latar belakangnya secara proporsional sehingga tidak jarang guru memberikan hukuman yang melampaui batas kewajaran pendidikan ( malleducatif ).

Budaya guru memberi tugas agar dikerjakan peserta didiknya sebagai tugas di rumah merebak bahkan menjadi trend dalam pembelajaran. Tindakan semacam ini baik sekali mengingat proses pendidikan melibatkan sebuah pembelajaran yang tidak hanya penghafalan suatu materi ajar. Akan menjadi sia-sia apabila tugas-tugas yang dilakukan siswa itu tidak dikoreksi, tidak dikomentari bahkan tidak dikembalikan dengan catatan kekurangan dan kelebihannya oleh guru yang memberi tugas.

Tugas yang terlalu berat dalam kaitannya dengan pemikiran , perlakuan bahkan pengeluaran biaya dari siswa justru menjadikan peluang penanaman rasa dendam peserta didik. Sehubungan dengan inilah keselamatan guru sering terancam oleh sekelompok peserta didiknya. Untuk inilah guru memang harus jeli dan pandai-pandai melihat keadaan kaitannya dengan pemberian tugas, hukuman dan pujian kepada siswa.( 1) Disiplinkan peserta didik ketika kita (guru) dalam keadaan tenang, (2) Disiplin hendaknya diberikan secara tepat waktu maupun tepat sasaran, (3) Hindari menghina dan mengejek peserta didik, (4) Pilih hukuman yang tepat dan bisa dilakukan peserta didik.dan (5) Masukkan disiplin dalam proses pembelajaran sebagaimana diungkapkan dalam E. Mulyasa (2005).

Ketiga, diskriminatif. Diskriminatif artinya tindakan yang tidak adil. Diskriminatif sering terjadi dalam proses pembelajaran antara lain pada saat guru menebarkan pertanyaan, pembimbingan, pelayanan pinjam-meminjam alat dan sarana pendidikan dan paling sering dilakukan guru adalah dalam pemberian nilai. Dasar diskriminitaif pun macam-macam meliputi jenis kelamin, rupa, sikap tertentu pada peserta didik, hubungan kekeluargaan dan hubungan kemasyarakatan di rumah.

Proses pembelajaran yang di dalamnya terkandung suatu unsur diskriminatif guru sesungguhnya tidak efektif lagi. Mengapa ? Tidak semua siswa merasakan kenyamanan dan kenikmatan yang dibentuk guru. Dengan kata lain ada sebagian siswa yang dirugikan. Perkembangan peserta didik akan terhambat oleh kondisi yang demikian ini. Oleh karenanya menjadi suatu keharusan, guru menciptakan keadilan dan tidak diskriminatif lagi dalam proses pembelajaran di kelasnya. Apabila guru tidak dapat menciptakannya maka yang terjadi adalah penurunan wibawa guru sehingga berujung disepelekan oleh peserta didiknya. Maka benar apabila ada nasihat agar manusia berlaku adil terlebih para guru.

Keempat, dictatorial. Belum terciptanya suasana kelas yang demokrasi masih banyak terjadi pada sebagian besar sekolah. Pemaksaan hak kepada peserta didik oleh guru sering terjadi. Kalimat-kalimat bernada ancaman dari seorang guru acap kali terdengan nyaring di telinga peserta didiknya. Misalnya, “ Apabila jawabannya tidak seperti ini, salah!” “ Siapa yang tidak membawa buku paket, keluar !” “ Siapa tadi yang menjawab salah!” dan lain-lain.

Suasana yang demikian ini mengarah pada terciptanya peserta didik menjadi penakut atau pendendam. Inovasi peserta didik tidak tersalurkan. Kebiasaan untuk mengeluarkan pendapat lambat namun pasti akan terpangkas. Budaya bisu peserta didik terpupuk subur oleh gurunya sendiri.

Sifat dictatorial yang dilakukan oleh guru dapat berakibat menyusahkan peserta didik. Perkembangan mental peserta didik akan terhambat bahkan dapat berakibat fatal. Ketika guru memaksakan kehendaknya agar siswa membeli buku dagangannya dengan harga yang mahal reaksi peserta didik pun bervariasi menurut tingkat ekonomi. Ada peserta didik yang mengamuk di rumah minta uang gara-gara guru memaksa untuk membeli buku pelajaran yang diampunya.

Kelima, dominator. Proses pembelajaran secara konvensional hingga detik ini masih mendominasi. Guru masih memegang proporsi paling menentukan. Peserta didik menunggu perintah dan guru sibuk mempersiapkan scenario pembelajaran menjadi sebuah budaya yang ada dalam dunia persekolahan kita. Macam kegiatan, alokasi waktu, penyedia alat dan bahan pembelajaran serta materi pelajaran diatur dan ditentukan oleh guru. Peserta didik tinggal melaksanakan.

Kesalahan paling tidak menggembirakan adalah guru merasa paling pandai. Akibatnya guru mendominasi seluruh kegiatan proses pembelajaran. Apa yang terjadi ? Perkembangan peserta didik tidak tumbuh sebagaimana yang diharapkan. Di kota-kota terjadi sebailknya. Guru menjadi bulan-bulanan peserta didik sehubungan dengan ilmu dan pengetahuan mutakhirnya.. Banyak peserta didik mempunyai fasilitas sumber belajar di rumah ( buku, koran, majalah, bulletin, tabloid, TV bahkan internet ) sementara guru merasa paling pandai.

Untuk itu hendaknya guru bersama-sama belajar dengan peserta didik sebagai mitranya. Guru tidak seharusnya menganggap dirinya paling pandai akan tetapi sebaliknya terbuka untuk mengakui siswa sekarang banyak meperoleh pengetahuan dari berbagai media masa yang tersebar di mana-mana. Dengan demikian proses pembelajaran akan enak dirasakan oleh guru maupun peserta didiknya. Dan pembelajaran yang enak dirasakan oleh kedua komponen pokok ini akan membawa suasana yang menyenangkan. Proses pembelajaran yang berorientasi pada PAKEM ( Produktif, Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan ) akan terwujud. Proses pembelajaran yang demikian ini sebagai pintu gerbang peningkatan kualitas pendidikan.

Baca Selengkapnya >>>

Lima Model Pembelajaran yang Sering Digunakan

Rabu, 29 Desember 2010 · 1 comments

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan
pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam
prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.
Berikut ini disajikan 5 (lima) model pembelajaran yang sering digunakan .Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip,modifikasinya diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas
para guru sangat tinggi.
1. Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman,tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi. Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.
2. Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya,yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun,mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba,mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan),constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama
proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara).
3. Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola
guided reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization,yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).
Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi),pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial,sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).
4. Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).
5. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis,suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dap[at berpikir optimal.Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi analisis), interpretasi, induksi,identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri

Baca Selengkapnya >>>

Empat Permasalahan Utama Pendidikan

Kamis, 23 Desember 2010 · 0 comments

Pendidikan di negara kita memakan porsi APBN paling besar, namun permasalahan yang ada juga semakin banyak. Persoalan utama pendidikan kita selain korupsi, yaitu 'Siswa tidak diberikan kebebasan untuk mengekspresikan pendapat yang berbeda sehingga mematikan kreativitas siswa'. Kita tidak dapat berharap anak-anak kita akan aktif (maupun pro-aktif), kreatif, dan mampu berkontribusi kepada bangsa dan negara dengan Pembelajaran-Pasif? Berikut ini bisa jadi menjadi prioritas utama untuk segera dibenahi agar pendidikan bisa mengantarkan anak-anak kita menjadi insan cemerlang atau insan kamil, yaitu :
• Memperbaiki semua sekolah yang rusak dan ambruk supaya Standar Nasional Sarana Prasaran yang lengkap dapat terpenuhi, supaya aman, nyaman, dan kondusif untuk "semua pelajar" - "Puluhan ribu sekolah dalam keadaan rusak atau ambruk termasuk 70% sekolah di DKI Jakarta - Di Jakarta Saja, 179 Sekolah Tidak Layak Pakai! - Hampir 80% Gedung Sekolah di Pesawaran Rusak, dll","Jumlah ruang kelas (SD dan SMP) rusak berat juga meningkat, dari 640,660 ruang kelas (2000-2004 meningkat 15,5 persen menjadi 739,741 (2004-2008)." (ICW) - Kelihatannya makin lama makin banyak sekolah yang rusak!

• Mengimplementasikan PAKEM (Pembelajaran Aktif dan Kontekstual) di semua sekolah supaya standar pembelajaran kita sesuai dan kompetitif dengan negara lain. Kapan kita akan menghadapi isu-isu yang terbukti meningkatkan mutu pendidikan? Pendidikan yang terbaik adalah: Pendidikan Berbasis-Guru yang Mampu dan Sejahtera, di Sekolah yang Bermutu, dengan Kurikulum yang Sesuai dengan Kebutuhan Siswa-Siswi dan "Well Balanced" (seimbang, dengan banyak macam keterampilan termasuk teknologi), yang Diimplementasikan secara PAKEM. ("Mampu" termasuk Kreatif)


• Menggunakan "Appropriate Technology" yang sudah ada di semua sekolah, yang terbaik, terjangkau, dan sangat meningkatkan kreativitas siswa-siswi maupun kreativitas guru (seperti di negara maju). Dengan rasio: "Sekarang Satu Komputer Untuk 2.000 Siswa". Jelas TIK (ICT) bukan solusinya, kan?


• Meningkatkan profesionalisme dan kebertanggunjawaban guru untuk meningkatkan ilmu dan kemampuan mengajar sendiri. Guru adalah pelaksana pendidikan (dan paling penting) jadi kesejahteraan juga harus sesuai supaya tidak perlu "moonlighting" (mencari tambahan penghasilan) di tempat lain dan dapat fokus kepada tugasnya.

• Meningkatkan Lapangan Kerja - Oleh lulusan yang aktif (maupun pro-aktif), kreatif, dan mampu berkontribusi kepada perkembangan industri. Ini adalah isu yang sangat penting di Perguruan Tinggi juga di mana "60 Persen Lulusan PT Menganggur" dan dari 40% yang mendapat pekerjaan, berapa % mendapat pekerjaan yang memuaskan?

Baca Selengkapnya >>>

Cari Apa Saja Disini


ShoutMix chat widget

Multi Posting Area

Web Stats

website-hit-counters.com
Powered by  MyPagerank.Net
SEO Stats powered by MyPagerank.Net
 

IcyBlue | Copyright © 2010 - Blogger Designed By Jasa Adsense Powered By How To Traffic Website Supported by Increase Traffic For Website

javascript:void(0)