oleh Dyah Eka Puspitasari pada 25 Januari 2011 jam 18:42
Hari itu, selasa 11 januari 2011. Baru 3 hari kami datang kembali di kota Brisbane, setelah 4 minggu berlibur menghirup udara segar tanah air. Isi koper belum saya keluarkan. Bahkan oleh-oleh untuk teman juga masih rapi di kemasan.
Pagi itu, sepulang kerja malam, seperti biasa mengecek inbox, email masuk, dan facebook. Masih sempat membaca dan membalas beberapa email, salah satunya permintaan biodata dari Forum lingkar Pena (FLP) Australia. Tiba-tiba heran dengan berbagai berita mengenai peringatan datangnya banjir di Brisbane yang melingkupi areal rumah kami. Padahal, baru saja dikejutkan dengan datangnya air bah yang sangat tiba-tiba di kota Toowoomba, yang hanya berjarak sekitar 90 km dari Brisbane.
Sedikit tidak percaya bahwa kota dengan sungai selebar itu, dan kontur naik turun seperti ini bisa mengalami bencana banjir sedasyat ini. Tapi aura berita pagi itu sungguh menegangkan. Tetangga yang dipulangkan segera oleh pihak kantornya, telepon dari teman yang sempat mengulangi datangnya mara bahaya, hingga kepanikan masal di supermarket yang makin membuat kami tak berfikir panjang untuk segera meninggalkan rumah.
Sedikit under estimate, mengira banjir hanya akan datang sekejab dan tidak dalam, hanya seperti mimpi buruk di tengah malam yang esok paginya sudah kembali berlangsung normal.
Kami sekeluarga pergi, hanya membawa baju masing2 satu pasang, hanya memakai sandal jepit, karena toh memakai sepatu hanya akan menambah repot suasana, dan.. oya, hanya laptop yang kami bawa. Bahkan paspor kamipun kami tinggal, walau sempat kami masukkan kantong plastik yang kemudian diikat di almari (bodoh ya?!).
Waktu saya mengepak CD movie dan game wii kesukaan anak2 dan hanya saya letakkan di atas almari, anak saya sempat bertanya, “Mom, are my stuff will getting a flooded?”. Saya jawab, “No, they are will be save”. Dia sempat bertanya lagi, “Are we going for a year?”. Saya jawab, “No, we are just going until night, and tomorrow we will back again”. Ah.. tak taunya, itu firasat khas anak-anak, bahkan setelah 3 minggu berlalu, kami belum tau bisa kembali ke rumah itu atau tidak. :(
Hari pertama lewat, hanya bisa meninjau dari berita di televisi, bahwa daerah rumah kami, Chelmer, totally flooded. Hari kedua, masih belum bisa mendekati rumah. Dan kami masih tetap mengira air hanya akan masuk rumah sebatas lutut. Hari ketiga, suami saya nekat menyusuri pematang oval depan rumah kami, dan terkaget-kaget bahwa saat ketinggian air sudah turun 1 meterpun rumah kami masih terendam 2.5 meter. Bisa dibayangkan kemarin rumah kami sudah seperti aquarium lumpur yang penuh barang.
Ah.. saya jadi teringat portfolio anak-anak, jadi teringat buku raport hasil belajar mereka dari tahun sebelumnya, jadi teringat computer dengan foto-foto yang belum sempat kami pindah, ingat keripik tempe yang baru saya bawa yang pasti sudah renyek, jadi ingat sambal pecel blitar yang belum saya makan sama sekali, ingat jilbab2 baru saya yang masih ada di plastiknya, ingat buku2 sastra yang berat-berat saya bawa dari Indonesia, ingat game wii anak2 yang bahkan belum dibuka dari kotaknya, ah... jadi teringat semuanya... :(.
Merasa kehilangan, jelas. Bukan pada seberapa besar materinya, tapi lebih pada seberapa banyak kenangan bersamanya, dan seberapa keras usaha mendapatkannya.
Tapi syukurlah, disini saya tidak sendiri.
Ada seribu tangan terulur,
ada sejuta kasih mengalun,
dan ada sekeping cinta di setiap genggamannya.
Terimakasih Tuhan.. Kau hadirkan cinta di antara deraian air hujan.
Tak ada lagi sedih, karena setiap kesedihan berbayang dengan kebahagiaan.
Tak ada lagi tangis, karena setiap derai tangis, berbias dengan senyum manis.
Tak ada lagi resah, karena setiap keresahan berakhir dengan kelegaan.
Bukankah sedih dan senang itu seperti dua sisi mata uang?
Hadapkanlah yang satu, maka sisi lainnya akan tetap tertinggal di genggaman.
Dan.. saat hati berpasrah, hanya satu yang saya tau, bahwa inilah jalanku.
*Diantara rasa syukur atas tangan2 penuh cinta yang terulur
Dyah (seorang teman di Australia yang rumahnya porak-poranda diterjang bajir)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar